A little piece of you #4

"Yeah i'm ready to feel now, no longer am I afraid of the fall down. It must be time to move on now. Without the fear of how it might end. I guess I'm ready to love again."
"Ibeeelll!! Matiin tuh lagu sekarang!"
Ibel datang ke Dapur rumahku dengan tangan yang sibuk memasukkan kepingan Chitato ke mulutnya.
"Kenapa emang? Merasa tersindir, ya?" tanyanya sambil tersenyum sinis
"Whatever." aku membelakangi Ibel dan membuka pintu kulkas. Dengan sekali gerakan, aku menyomot fresh water dan puding cokelat yang semalam kubeli.
"Lo nggak mau nyoba move on, Nda? Nggak ada ruginya juga, kan?" Ibel membuntutiku menuju sofa merah marun dan duduk di sampingku.
"Emang." jawabku
"Terus?"
"Apa?" aku menatapnya dengan mata berputar. "Lagipula, kalau pun gue bener-bener niat move on, gue harus move ke siapa?" aku menatapnya malas
"Evan?"
"What? Evan?? Bukannya lo nggak suka dia, ya?" tanyaku heran
"Yahh... kalo lo ternyata jodoh sama dia, masa iya gue tetep nggak suka? As your best of the best friend, of course i'll always support you. Lagipula, kalau dipikir-pikir ya, Evan nggak buruk-buruk banget kok." jawabnya santai
"Tapiiiii, masalahnya saat ini adalah, i'm nor ready to move on."
"Not yet, honey."
Aku memandang Ibel dan dibalas dengan kedipan mata genitnya. Mau tidak mau, aku tersenyum dan mendorong bahunya pelan.
"Lo yakin gue bisa?" tanyaku sembari mangaduk-aduk pudingku
"Pasti dong. Orang-orang aja sekarang banyak yang move on dari Tuhannya. Masa sama manusia macam Gilang lo nggak bisa? You must deserve better, you know." kata Ibel tulus
"Gue bahkan nggak lebih baik dari Sandra, Bel." kataku pelan
"So what? Mungkin bagi Gilang, Sandra is like an angel. Biarin aja. Toh menurut Evan, lo lah angelnya." sahut Ibel
Aku tertawa dan aku bisa merasakan perasaanku lebih lega.
"Jadi? Ready to love again, Lita?" Ibel mengangkat alisnya berulang kali seperti marketing asuransi.
Dengan senyum dan tekad bulat, aku menganggukkan kepala. "But if 'its' not for Evan, it's okay, right?"
"Yeah. As long as 'its' not for Gilang, i'll always said yes."
Aku memeluk Ibel erat. Ibel membalasnya lebih. Momen seperti ini mengingatkanku saat pertama kali aku menangis histeris untuk Gilang.


"Jadi, begitu, Bel.... Lo ngerti kan perasaan gue?" aku menyudahi curhat panjang x lebarku dan menghapus airmata yang sudah bercucuran bak keran air.
"Selalu, sayang.  Gue juga sebagai cewek ngerasa sakit hati kalau pacar sendiri nggak percaya kita. Iya, kan?"
Aku mengangguk lemas. "Trus, gue mesti gimana lagi? Gue udah capek, Bel, sumpah. Tapi gue nggak mau putus dari dia. Nggak akan mau." kataku
"Lo sayang banget sama dia, ya?" tanya Ibel
Lagi-lagi aku mengangguk
"Tapi, kalo rasa sayang itu malah ngebuat elo jadi menderita, mending nggak usah, Nda. Semuanya terserah lo. Tapi, sebagai sahabat yang sangat sayang sama lo, gue nggak mau liat lo menderita gini. Ini pertama kalinya selama sejarah kisah cinta lo, lo nangis buat cowok sampe beribu-ribu kali." jelas Ibel
"Tapi kalo gue putus, gue bakal lebih menderita, Bel."  kataku pelan
"Inget satu hal, Nda. Rasa sayang itu membuat kita bahagia, bukan menderita. Lo dan gue sama-sama yakin kalau seseorang udah nangis atas nama cinta, itu biggest bullshit in the whole world. Gue udah pengen banget ngingetin lo soal ini, tapi gue nggak mau jadi orang yang nggak tau situasi. Nggak mungkin kan saat lo nangis, gue malah ceramahin lo?"
Aku tertawa samar dan menatap Ibel. "Jadi? What sould i do, Love Doctor?" 
"Pikirin mateng-mateng apa yang lo mau, dan apa yang lo rasa. Jujur, Nda. Bukan sama gue, Gilang, atau keluarga lo. Jujur sama diri sendiri. Perasaan yang ada di hati lo saat ini 'sayang' atau 'takut'? Kalo lo beneran sayang sama dia, biarin semuanya berjalan. Kalau dia emang beneran sayang sama lo, dia pasti percaya dan tetep ada di sisi lo, tanpa perlu lo nangis-nangis begini. Tapi kalo dia udah saatnya pergi, relain aja. Semua indah pada waktunya kok. Masih ada gue, keluarga lo, temen-temen kita yang lain, dan Tuhan." Ibel mengedipkan sebelah matanya. 
"Kalau.... Kalau ternyata gue gagal, gimana, Bel?" tanyaku takut
"So what? Lo takut gue bakal gigit lo? Take it slow, girl. Yang penting lo udah berusaha nyoba. Kalo emang gagal, yah... mau diapain lagi?" jawabnya
"Bel..."
"Yup?"
"Kalau dia yang mutusin gue duluan gimana?"
"Ishhh lo banyak nanya yee!" Ibel mengepalkan tangannya gemas. "Biarin aja kenapa,sih? Masih ada gue. Gue bukan tipe PHP yang cuma ngumbar-ngumbar janji manis macam cowok lo itu. Lagipula, masih ada cowok lain yang lebih perfect dari dia." 
"Gue nggak nyari yang perfect, Bel." tekanku
"Iya tau," Ibel menghembuskan napas. "maksudnya, masih banyak cowok lain di luar sana yang bisa membahagiakan lo lebih dari yang dia lakuin. Kita masih kuliah semester 1, by the way. Perjalanan kita masih panjaaaang. Kita belom lulus, kerja, cari duit, dan lain-lain. Selama lo belom jadi istri dia, kenapa mesti takut kehilangan dia?"
Tes. Tes. Tes. Air mataku kembali turun dan dadaku perlahan terasa sakit. Aku mulai menutup bibirku dengan tangan dan aku bisa merasakan Ibel memelukku.
"Kok nangis lagi sih, Ndaa? Duhh, udah dong. Kok lo jadi cengeng gini, sih?"
Aku tersenyum dibalik tangisku dan menoyor kepala Ibel pelan. "Gue takut, Bel. Takut banget."
"Apa sih yang lo takutin? Hah?" Ibel melepas pelukannya dan menatapku
"Udah terlalu banyak kenangan yang gue laluin sama dia. 3 tahun, Bel! Itu bukan waktu yang lama. Dia dengan sosok polos dan selera humorisnya yang rendah, itu yang susah gue lupain. Gue nggak mau kehilangan dia, Bel. Tapi gue juga nggak mau sama dia terus kalo gini caranya. Dia lebih percaya cewek lain dari gue! Ya gue tau dia curhat sama Sandra tentang gue. Tapi ya, nggak hanya itu. Gue ngerasa Sandra lebih ngenal pacar gue daripada gue sendiri yang udah 3 tahun pacaran. Gue sayang dia, Bel... Sayang banget sampe rasanya diri gue sendiri nggak kuat buat nampung rasa itu..."
"Mau gue ingetin 1 hal?"
Aku menatap Ibel sembari sesegukkan
"Dulu saat masih pacaran, lo pernah curhat ke gue kalau Gilang pernah janji sama lo untuk curhat sama lo. Inget? Saat lo nuntut ke Gilang, kenapa dia nggak mau curhat ke lo, dan dia janji bakal curhat ke lo. Buktinya apa, Nda? Selama 3 tahun, lo tau dia luarnya doang kan? Toh, dia nggak pernah nepatin janji itu. Itu udah fatal, Nda. gue cuma mau ngingetin doang. Siapa yang tau masa depan? Bisa aja tiba-tiba Gilang dateng dan cerita semuanya ke lo. Tapiii, ini sebagai peringatan aja. Kalau ternyata hubungan lo sama dia harus berakhir, lo punya satu hal yang nggak ngebuat lo merasa bersalah terus. Dia pernah bohong sama lo. Nggak semuanya salah lo, Nda. Okey?"
Seakan tersadar dari sesuatu, aku menghentikan tangisku dan menatap Ibel.
"Udah gue duga. Lo lupa sama satu hal itu, kan?" Ibel tersenyum
Aku menganggukkan kepala.
"Jangan nangis lagi ya, Nda. Udah cukup deh. Jujur aja, gue udah capek ngeliat lo curhat sambil nangis begini. Sedih gue ngeliatnya."
Aku tertawa dan memeluk Ibel erat. "Makasih buat semuanya ya, Bel. You're the angel that God sent to me."
Ibel tertawa dan mengelus punggungku. "i wish i could be. Tapi kenapa malaikat nggak pernah punya pacar,ya?"
Aku ikut tertawa. "Itu karena lo terlalu suci untuk digapai."
Kami tertawa sembari berpelukan. Itu lah kenangan yang paling membekas di hati dan pikiranku tentang Ibel, karena, benar saja. Keesokan harinya, Gilang meneleponku dan mengakhiri hubungan kami. Sakit memang. Sakit sekali. Aku tidak memberitahu Ibel hari itu juga. Aku ingin mencoba menenangkan diriku sendiri tanpa perlu bantuan Ibel. Kata-kata yang Ibel katakan kemarin malam membuatku tersadar bahwa hubungan kami berakhir bukan sepenuhnya salahku. Ya, aku tau, pasti butuh waktu yang sangat lama untuk move on dari Gilang. Mengingat kami satu kampus dan memilih jurusan yang sama. Tapi yang kutahu adalah satu hal, nggak peduli berapa banyak dan berartinya kenangan, seberapa sulitnya move on, dan seberapa beraninya aku untuk melupakan perasaanku ini, aku yakin akan satu hal. Aku pasti bisa. Entah kapan.

TBC 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?