Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

Sebulan setelah kepergiannya... (Lanjutan Seminggu denganmu)

Aku menatap binder putih itu. Keinginanku sudah bulat. Aku harus membacanya. Aku membuka binder itu dan menemukan tulisan tangannya untuk pertama kalinya. Tulisan tangan yang rapih dan diukir. Gerard Renaldo. Manhattan,March 01 1990. Manhattan? Jauh sekali. 1990? Aku masih satu tahun saat itu. Aku menyentuh tulisan angannya. Dapat kurasakan dirinya dalam setiap huruf yang ia tulis. Aku membuka lembaran lain. Dan mulai membacanya. Ternyata, ini semacan buku catatan kejadian penting baginya. Semakin aku baca, air mataku menetes satu-persatu. Satu jam aku habiskan untuk membaca seluruh isi binder itu, dan saat halaman akhir aku menangis tersedu-sedu. "Ini hari terakhir aku di dunia ini. Besok, entah benar atau tidak, aku akan meninggal. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa Tuhan tidak mengambil nyawaku bersama keluargaku dulu. Kenapa ia harus membiarkanku bertemu dengannya terlebih dahulu? Ia. Sena Esta Leonora. Wanita yang begitu kucintai. Kenapa aku harus mati?

Seminggu denganmu (Hari 7)

Hari ini aku terbangun dengan mata yang membengkak. Semalaman aku tidak bisa tidur. Menangis seperti hantu kesepian. Aku tidak mendapat mimpi apa-apa. Padahal, aku berharap mendapat mimpi bagus tentang Gerard supaya aku mempunyai harapan lebih besar. Tapi ternyata tidak. Entah karena kelelahan, atau Tuhan tidak mau aku tahu rencananya, aku tidak mendapat mimpi apa-apa. Menyebalkan. Bagitu aku membuka mata, aku melihat Gerard. Dengan berbalut serba putih, ia tersenyum padaku dengan sedih. Tetapi, ketika aku mengerjap, ia sudah tidak ada. Menghilang. Dan aku? Kembali menangisinya. Aku tahu ini bodoh. Aku yakin Gerard belum pergi meninggalkanku, tapi rasanya sakit sekali. Aku terduduk di ranjang dan menekan dadaku kuat-kuat. Berharap rasa sakit ini akan segera hilang. Berulang kali aku menghapus tetes demi tetes airmata yang bergulir di pipiku. Aku menekan dan terus menekan, tapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap aku menutup mata untuk menenangkan diri, rasa sakit itu kembali m

Seminggu denganmu (Hari 6)

Gerard sama sekali tidak bisa dihubungi. Kemana dia? Apa yang terjadi dengannya? Seharian penuh tanpa mendengar kabarnya sangat menyesakkan dadaku. Aku berulang kali menagis tiap memikirkannya. Apalagi saat mengingat kejadian kemarin. Rasanya aku hanya ingin berlari ke dalam polukannya saat ini juga. Menggenggam tangannya seerat yang ku bisa. Dan mengatakan dengan setulus hati bahwa aku menyayanginya. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Telepon atau pesan singkatku tidak ada yang di responnya. Aku sangat khawatir. Sangat. Dan rasa khawatir ini membuatku sulit bernafas. Pikiranku penuh dengan pikiran negatif tentang dia. Semakin lama, pikiran itu semakin kuat. Membuatku semakin meyakini bahwa mimpiku akan terjadi. Aku mencoba pergi ke perpustakaan, tapi ia juga tidak ada disana. Aku juga mencoba ke taman, dan ia juga tidak ada. Ke pantai juga, tapi aku sudah terlalu lelah berkeliling pantai mencarinya. Rumahnya aku juga tidak tahu. Akhirnya, disinilah aku. Di dalam kamar kecilku. Aku

Seminggu denganmu (Hari 5)

"Kau mau ke Perpustakaan?"Tanya seseorang diseberang sana "Tidak. Aku sedang tidak ingin membaca lagi." Jawabku sambil memasukan makanan sarapan ke dalam mulutku "Mmm....," ia bergumam "Bagaimana kalau kita jalan-jalan lagi?" Tanyanya "Kemana?" Tanyaku dengan mulut penuh makanan "Ohh,jangan kira kau bisa menipuku lagi. Kau ingin aku temani ke tempat debat politik? Atau museum? Atau pameran lagi?" Tanyaku dengan nada sarkatis yang dibuat-buat "Tidak,Sena. Aku tidak ingin kau marah lagi padaku seperti kemarin." Jawabnya Aku terdiam. Jawabannya kali ini seperti mengandung nada aku-tidak-mau0kau-jauh-dariku. Aku tersenyumtersipu sebelum menjawabnya "Oh ya? Lagipula kemarin aku tidak marah," Sahutku "Tidak marah, tapi nada bicaramu kemarin sarkatis sekali." Katanya. Aku yakin saat itu ia pasti sedang mencibir "Kau mau tahu kenapa aku begitu? Karena...," "Karena kemarin aku begitu

Seminggu denganmu (Hari 4)

Suara apa itu? Berisik sekali. Aku mengulurkan tanganku dari balik selimut dengan malas. Meraba-raba meja di sampingku dan memegang sesuatu. Dengan malas, aku melemparkannya ke lantai begitu saja. Aku kembali menggeliat di balik selimut dan menutup mataku, tetapi belum sempat kembali ke alam mimpi, sesuatu kembali membangunkanku. Aku meraba-raba di bawah bantalku dan menemukan benda itu. Getaran dan dering ponsel itu begitu menyengat telingaku. Tanpa melihat layarnya, aku langsung mengangkatnya dengan mata masih terpejam "Hallo," Kataku malas "Sena? Kau masih tidur?" Tanya sesorang di seberang sana Sontak aku membuka mata mendengar suara di seberang sana "Gerard?" Tanyaku tidak percaya "Kau mengenal suaraku, rupanya." Ia terdengar terkekeh di seberang sana "Jadi kau belum bangun?" Tanyanya dengan nada tidak percaya "Darimana kau tahu nomorku?" Tanyaku bingung "Dari Ibu Kath." Jawabnya "Sepertinya kau

Seminggu denganmu (Hari 3)

"Sen," Panggil Gerard sambil masih terus membaca buku "Sena?" Panggilnya lagi. Kali ini ia sudah menengadahakan wajahnya "Senaaaa," Panggilnya setengah berteriak Aku terbangun dari lamunanku. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mulai menatapnya dengan jelas "Kamu kenapa?" Tanyanya. Suaranya terdengar khawatir "Tidak apa-apa." Jawabku sambil menyelipkan rambutku dibalik telinga "Bohong." Katanya singkat Aku mendongak dan menatapnya. Gerard sedang memandangiku lekat-lekat. Mau tidak mau, aku pun kembali seperti aku biasanya. Wajahku mulai terasa panas dan aku tersenyum samar "Tahu darimana aku berbohong?" Kataku sambil membalik-balik lembaran novelku "Aku mengenalmu." Jawabnya yakin "Oh ya? Baru 3 hari ini saja kita dekat, bukan? Kenapa kau begitu yakin kau mengenalku?" Tanyaku bergurau "Karena aku..," Ia berhenti berbicara Ak

Seminggu denganmu (hari 2)

"Hallo, Sena!" Sapa seorang wanita paruh baya dibalik meja penjaga perpustakaan "Hai, Ibu Kath! Bagaimana kabarmu?" Tanyaku begitu selelsai menitipkan tas di tempat penitipan tas " As usuall. Kau?" Tanyanya "Masih bisa bernafas," Jawabku sambil tersenyum lebar "Omong-omong, tempat dudukku belum ditempati siapa-siapa kan?" Lanjutku "Ahh, aku lupa bilang. Tempat dudukmu sekarang sudah ada penggemarnya. Selain dirimu, pastinya. Lihat saja ke dalam." Ibu Kath menunjuk ke dalam perpustakaan dengan dagunya "Baiklah. Terima kasih banyak, Ibu Kath." Kataku lalu Aku berjalan memasuki perpustakaan sambil tersenyum. Rasanya kejadian kemarin masih terekam jelas di otakku. Aku bersiul kecil sembari menyenandungkan sebuah lagu. Begitu aku sampai di tempat biasa aku duduk, aku terperanjat melihat siapa yang sedang duduk disana. Ya, sosok pemeran utama yang gagah sedang duduk di bangku favoritku. Seperti biasa, ia duduk sem