A little piece of you #5

"Lita,"
Aku mengerjap dan menatap Evan dengan pandangan kosong.
"Kamu kenapa?"
Aku menatap Evan aneh. "Kenapa apanya?"
Evan balas menatapku lebih aneh, "you look different. Aku nggak tau apa itu, yang jelas kamu...... keliatannya beda." katanya
Aku tersenyum samar.
"I'm okay." sahutku singkat dan mulai mengaduk spaghetti bolognaise yang terasa sangat asam di mulutku. Entahlah.
Aku bisa merasakan Evan mengamatiku cukup lama. Aku kemudian mengangkat kepalaku dan menatapnya sambil memasang senyum lebar
"Aku nggak apa-apa, Van. Stop staring at me like that."
"'Nggak apa-apa'nya cewek itu pasti ada 'apa-apa'nya. Aku udah pengalaman banget, Ta." Evan memajukan bibir bawahnya yang seketika membuatku tertawa pelan
"Pengalaman sama siapa? Sandra ya?" aku menyindirnya sembari tersenyum, tapi seketika senyumku hilang saat melihat ia tertegun dan rahangnya mulai mengeras
"Ups." aku menyeringai dan buru-buru mengalihkan perhatian ke spaghettiku dengan kikuk. Sialan, lagi-lagi aku keceplosan soal Sandra.
Tiba-tiba sebuah tangan terulur dan mengangkat daguku pelan. Aku mengangkat kepala dan melihat langsung menuju mata Evan yang terlihat hitam kecokelatan yang menghanyutkan. Persis seperti mata Gilang. Bedanya, mata Evan dibingkai kacamata hitam yang terkadang mengendur turun di batang hidungnya.
"I love you, Ta." Evan tersenyum dan melepas daguku kemudian melanjutkan makannya
Aku terdiam. Ini salah satu sifat yang sangat kusukai dari Evan. He always say 'I love you' whenever i'm in bad mood, or whenever he wanted to. Dan aku pikir ini hal yang sangat romantis. Hal yang tidak pernah kudapatkan dari Gilang.
Sial. Aku lagi-lagi membandingkan Gilang dengan Evan.
By the way,  aku sudah resmi berpacaran dengan Evan 5 tahun yang lalu. Tepatnya saat turnamen sepak bola yang diadakan Kampusku. And, note, saat itu Evan sangat romantis menurutku. Tiba-tiba pikiranku melayang ke saat-saat itu.

"Gue nggak ngertiiiiii!!!" seru Ibel tiba-tiba saat aku sedang seru-serunya mengamati Rian, salah satu anggota tim sepakbola Kampusku yang sedang menggiring bola dengan lincah.
"Berisik banget sih lo, Bel?" aku menyahut dan kembali serius mengamati Rian. Ooh, bola sudah diambil oleh Radit, tim lawan. Sial. Aku kelewatan momentnya.
"Lo jangan sok-sok ngerti bola deh, Nda. Lo sama butanya dengan gue. Gara-gara lo lagi PDKT sama Evan aja, makanya mulai tertarik sama bola." cibir Ibel
Aku seketika memutar kepala menatapnya dan menoyor kepalanya tetapi dengan senyum lebar terpasang di wajah. "You know me so well, banget sih, Belll" aku mengerucutkan bibir hingga membentuk bibir yang hendak mencium, tetapi Ibel dengan sigap menangkap wajahku dan menjauhkannya
"Don't. Ever. Kiss. Me. Kalo elo itu Leonardo Dicaprio, baru gue rela." katanya
Aku tertawa lepas. Dasar Ibel. Inilah kenapa aku betah bersahabat dengannya sampai sekarang.
"Yaa, dan bola melayang jauuhh. Dan...... ooh! Evan berhasil menangkapnya dengan indah!"
"HAHAHA, 'dengan indah' katanya?" Ibel mencibir
"sstt." mataku dengan lincah mencari Evan. Oh, dia disana! Dengan lugasnya ia menggiring bola dan berhasil mengecoh beberapa pemain hingga ia mengoper sebentar ke Ari, Ari mengoper ke Rian, Rian membawa bola mendekati gawang lawan, dan dengan tiba-tiba Rian mengirim bola ke Evan, dan Evan menembaknya.......
"GOOLLLLL!!!!!!" seruku tiba-tiba.
Ibel terlonjak kaget dan segera menampar bahuku. "Shit! Lo bikin gue kaget tau gak?"
"Gol, Bell. Goll! Evan yang nge-golin!!" aku mengguncang bahu Ibel dan ikut berdiri sambil berteriak histeris
"Weird." aku bisa mendengar Ibel berkata sambil kembali memasukan kepingan Pringles ke mulutnya dengan tatapan malas mengarah pada lapangan. Ia sama sekali tidak tertarik, sepertinya,
Tiba-tiba terdengar pluit kencang yang menandakan waktu telah habis. Seketika stadion mini Kampusku semakin semarak dan meriah. Evan segera berteriak dan berlari kencang menuju teman-temannya. Skor akhir yaitu 5-3 untuk Kampusku. Aku merasa terharu sekaligus bangga, Sebagian karna Kampuskulah yang menang, sebagian lagi karena skor akhir tercetak berkat gol dari Evan. Cowok pujaanku. Um, tidak. Belum sepenuhnya.
"Nda, ada Gilang tuh," kata-kata Ibel membuatku tersentak sebentar tetapi aku berusaha untuk kembali tenang dan tersenyum padanya
"So?"
Ibel tersenyum lebar. "Ceritanya udah move on beneran nihh?"
Aku mendesah, "kan lo sendiri yang nyuruh, Belindaku sayang."
Ibel menyeringai lebar. "Yaa, iya sihh. Bagus deh lo udah beneran move on dari cowok macam Gilang."
Aku hanya tersenyum menanggapi Ibel. Ya, aku sudah benar-benar move on dari Gilang Hartawijaya. Butuh sekitar 4 tahun untuk benar-benar melupakannya. Terhitung dari aku mulai masuk kuliah, sampai beberapa bulan yang lalu. Aku sudah menginjak semester akhir. Sebentar lagi aku akan lulus dan mendapat gelar sarjana dibelakang namaku. Tanpa disangka, waktu berjalan dengan cepat. Dan butuh waktu sekitar 4 tahun juga untuk menyadari bahwa selama ini Evan lah yang selalu berada di sisiku. Bodohnya aku, tidak pernah menyadari hal sesederhana itu. Aku kira waktunya sudah terlambat, Evan tidak mau bersamaku lagi. Apalagi saat aku mengetahui bahwa Evan sempat menjalin kasih dengan Sandra, perempuan yang membuat hubunganku dengan Gilang berantakan. Well, sebenarnya tidak juga sih. Yaa, pokoknya aku hanya kurang suka dengan Sandra. Hubunganku dengan Gilang hancur murni kesalahan kami berdua. Aku tidak mau menyalahkan seseorang dalam hal ini.
Jadi, saat aku mengira Evan sudah tidak akan pernah kembali lagi padaku, aku salah. Evan kembali. Awalnya kukira ia hanya main-main padaku, tapi ternyata tidak. Ia mengaku bahwa selama ini yang dia pikirkan hanya aku. Tapi, saat itu ia tidak menembakku. Maksudku, yahh....... aku kira saat itu ia sekaligus menembakku dan menjadikanku pacarnya. Tapi tidak. Ia memang menyatakan perasaannya padaku, tapi tidak secara serius menjadikanku pacarnya. Dan itu terjadi selama 5 bulan terhitung sampai sekarang. Agak terkesan digantung, Tapi tidak apa-apa. Toh, dulu aku juga sering menggantung hatinya.
"Test 1,2,3." tiba-tiba terdengar suara lelaki dengan mikrofon
Aku mencari sumber suara dan menemukan Evan sedang memegang mic di tengah lapangan hijau. Ia melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku. Aku sempat menengok kiri dan kanan, karena aku belum yakin Evan bermaksud berbicara padaku.
"Lita, gue ngomong sama lo." Evan menekankan maksudnya sambil terus menatapku
Aku duduk terdiam balas menatapnya
"Lita, gue mau jujur sama lo. Sebelumnya lo udah tau kan kalo gue sayang sama lo? Sekarang gue mau ngulang kata-kata itu lagi, tapi dengan beberapa tambahan," Evan menarik napas dan melanjutkan, "Wanda Lita, gue sayang banget sama lo. Dari awal ketemu pas ospek sampai sekarang. Gue tau gue pernah pergi dari hidup lo. Awalnya gue berniat buat ngelupain lo, tapi ternyata nggak bisa. It's always been you. Gue kembali lagi. Sekarang gue mau lo tau, kalo dari dulu sampai sekarang, gue selalu pengen lo jadi pacar gue. Makanya, tanpa berbelit2 lagi, i'll asked you now."
Evan menekuk satu lututnya dan setengah terduduk di rerumputan lapangan. "Would you be my girlfriend? Oh, no. Would you let me be your boyfriend?" Evan menatap langsung menuju mataku, menembusnya dan mengaduk-aduk perasaan di hatiku.
Seumur hidup, ini pertama kalinya aku ditembak cowok di depan umum. Bahkan waktu bersama Gilang, Gilang hanya menyatakan perasaannya lewat akun sosial media. Ini salah satu tindakan yang kupikir hanya bisa terjadi di novel fiksi atau sinetron-sinetron Indonesia. Ternyata tidak. Ini terjadi padaku!!
Suasana begitu hening sampai aku merasa aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Ibel menyikut lenganku cukup keras dan berkata, "Nda, lo nggak buta, bisu dan tuli kan? Cepet jawab, bodoh."
Aku segera tersadar dan kemudian buru-buru berdiri. Tetapi begitu berdiri, aku bingung apa yang akan kukatakan. Akhirnya aku hanya menatap Evan dan mengangguk pelan.
Evan mengangkat alisnya dan tersenyum kemudian berkata, "gue butuh suara lo, Ta."
Aku membuang napas pasrah dan akhirnya memutuskan untuk menjawabnya
"Iya, Van. Okay. Gue terima keinginan lo untuk jadi pacar gue. You know what, thanks for being there for me for almost 4 years. Penjelasan lainnya, mungkin nggak disini ya," aku menatap seantero mini stadion dan mulai mendengar seruan mencibir bercanda dan kemudian tersenyum, "privasi aja, oke?" aku mengedipkan mataku pada Evan
Evan tersenyum lebar dan segera berlari menuju tribun tempat aku duduk dan kemudian memelukku dengan erat. Dan tanpa disangka, ia mencium lalu pipiku. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Pasti saat ini wajahku sudah berwarna merah merona. Aku hanya mengulum senyum dan menatap ke lain arah. Tapi, aksiku ternyata salah. Saat aku mengalihkan pandangan, aku mendapati Gilang sedang menatapku tajam.
Well, kataku dalam hati, i'm already with someone now, Lang. thank you for making me wait this long time. I still love you, as a friends. Got it. Aku mengatakan itu dalam hati sembari balas menatap Gilang. Gilang tampaknya sadar aku menatapnya balik. Dengan canggung, ia mengalihkan pandangan ke ponselnya di tangan
Yeah, aku rasa aku menang kali ini.

"Tuhkan kamu bengong lagi."
Aku mengerjap dan menatap Evan dengan pandangan kosong
"Kamu denger nggak tadi aku ngomong apa?"
Tepat sebelum aku hendak menjawab, Evan segera memotong dengan berkata, "You'll say, Nope. Aku tau banget, Ta."
Aku menyeringai kikuk.
"Pulang aja yuk, Van. Makanan kita udah abis ini kan?"
Evan mendesah. "Yaudah lah. Lebih pulang daripada duduk di depan orang yang lagi bengong kayak orang kesambet," Evan segera mengangkat tangan dan membuat tanda supaya pramusaji datang
"Sorry...."
Evan melirikku sebentar, kembali mengamati bill, memberikan uang kepada pramusaji dan berdiri dari bangku sembari memegang tanganku. "Apologize accepted."

Kami berdua terdiam di mobil, menciptakan suasana hening yang dingin. Evan menghembuskan napas keras. Aku mengamatinya dalam diam. Evan menoleh dan menatapku. "Kamu lagi kenapa sih, Ta, hari ini?"
Aku menggeleng polos
"Nggak apa-apa atau nggak tau?"
"Nggak tau." sahutku pendek
Lagi-lagi Evan menghembuskan napas keras. Tepat sebelum ia keluar dari mobil, aku menarik tangannya. Evan terlihat kaget dan kami hanya bertatapan. Tenang. Diam. Dan perlahan tapi pasti, Evan mulai mendekat dan akhirnya tidak ada lagi jarak antara bibir kami. Evan menciumku pelan, menempelkan bibirnya ke bibirku dan menekannya. Hanya sebentar, dan kemudian ia melepasnya. Ia menatap mataku dalam dan kemudian berkata sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan terhitung dari hari ini. Sesuatu yang tidak pernah kuharapkan terucap dari bibirnya selama 5 tahun kami berpacaran.
"Gilang balik, Ta. Dia udah balik dari Singapur. Kemarin aku ketemuan sama dia. Aku nggak sengaja ketemu dia di Starbucks Kantorku. Ternyata dia lagi nunggu seseorang yang bekerja juga di Kantorku itu. Kita ngobrol cukup panjang, sampe dia izin ke toilet dan dia nggak bawa ponselnya, tiba-tiba aku liat wallpaper iPhone-nya itu foto kamu, Ta. Foto kamu......" Gilang menarik napas kemudian melanjutkan, "begitu dia balik, aku langsung tanya kenapa wallpaper hapenya itu kamu. Dan dia bilang...... Dia masih sayang sama kamu, Ta. Sampai hari ini. Aku sayang kamu, Ta. Aku nggak tau alasan kenapa kamu banyak diam hari ini. Entah kamu udah ngerasa atau gimana, aku nggak tau. Yang jelas, aku........aku kecewa banget tadi di Bonjour, kamu tiba-tiba nyebut nama 'Gilang' saat kamu lagi bengong."
Aku menganga dan terkejut. Apa apaan ini.................
"Aku cuma mau kamu tau, kalau aku sayang banget sama kamu, Ta. Aku juga tau perjuangan kamu buat move on dari Gilang itu susahnya minta ampun, karena aku ada di sana saat kamu berjuang. Tapi kalau proses 4 tahun ditambah 5 tahun kita pacaran nggak cukup membuat kamu ngelupain Gilang sepenuhnya, lebih baik kita break dulu."
Aku mulai merasakan air mataku mulai turun perlahan, menetes menyusuri pipiku. Aku juga melihat air mata yang sama turun melewati pipi putih Evan. Ia melepas kacamatanya, dan menangis. Evan menangis di hadapanku dan memegang tanganku erat seakan tidak ingin aku terbang.
"Aku tau aku mungkin egois, Ta. Tapi aku rasa kita butuh waktu. Aku butuh waktu buat nenangin diri aku. Aku juga butuh waktu buat ngomong lagi sama Gilang. Kamu juga butuh waktu,"
"Engga, Van. Aku nggak mau! Aku sayang sama kamu doang, Van!" aku berteriak histeris dan menangis meraung raung
"Ta,"
"Lita," Evan berusaha menangkup wajahku dan menatap tepat di mataku
"Kita nggak putus kok, Ta. Engga. Kita cuma butuh waktu. Okay? Aku tau ini berat, tapi harus." Evan mengecup hidungku dan tersenyum walau dengan air mata terurai
"We can through this, Ta. I know we can."

Well, Gilang. Selamat datang kembali dan selamat merusak kembali. Terima kasih.

TBC
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?