Lelah.

Buram.
Aku tidak bisa melihat apapun.
Pandanganku keruh, layaknya air kapur dalam gelas bening.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, dan aku merasakan hangat tetesan air jatuh menuruni pipiku.

Lagi-lagi air mata.

Aku menghela napas pelan sambil memegang dadaku kencang, berharap sakitnya perlahan hilang seiring intensitas peganganku.
Tapi tidak. Tidak sama sekali.
Yang terasa malah makin sakit.
Makin perih.
Makin menyayat hati.

Aku menghapus air mataku kasar dan kembali berusaha memfokuskan pandangan ke arah ponselku. Terlihat aplikasi berlogo hijau putih yang menampilkan namanya dan sederet pesan yang ia berikan padaku.
Pesan-pesan yang membuatku kembali menitikan air mata.
Seketika memori-memori pedih mendesak masuk ke otakku dan mengambil alih diriku.

                                                                             ***
Lelaki itu berdiri memunggungiku dengan punggungnya yang sedikit menunduk.
Ia mengangkat wajahnya dan menoleh ke belakang.
"Sini, ngapain diem aja?"
Aku tersenyum dan menyusulnya.
Aku menyayanginya, sungguh. Laki-laki itu. Aku menyayanginya sepenuh hati.
Lelaki itu tampak sibuk dengan ponselnya. Aku berusaha mengintip dan terlihat sebuah nama. Nama yang selama delapan bulan ini sering membuat tidurku tidak nyeyak dan perasaanku semakin was-was.
Nama perempuan itu.
Laki-laki itu menoleh dan tersenyum padaku. Secepat kilat aku mengalihkan tatapan dari layar ponselnya menuju matanya dan balas tersenyum. Senyum yang kuharapkan dapat terlihat tulus. Senyum yang sebenarnya kupaksakan. Senyum palsu yang busuk, bahkan aku sendiri muak.

Ya, perempuan itu.
Perempuan itu datang saat umur hubunganku masih setengah tahun.
Perempuan itu datang dari ucapan temanku.
"Kamu tau perempuan itu tidak? Ia sepertinya menyukai lelakimu. Entah lah, aku sendiri juga tidak yakin. Tapi dari apa yang kulihat, sepertinya begitu." katanya.
Aku hanya menjawabnya dengan kalimat, "Oh ya? Oke deh. Aku akan mencari tahu tentangnya. Terima kasih."

Bulan demi bulan berlalu, dan informasi yang kudapat semakin banyak.
Ternyata omongan temanku tidak hanya isu asal lewat.
Omongannya benar.
Perempuan itu menyukai lelakiku.

Aku tidak menyalahkannya, sungguh. Perempuan itu, aku tidak bisa dan memang tidak mau menyalahkannya karena ia menyukai lelakiku.
Karena aku pun pernah mengalami berada di posisinya.
Menyukai lelaki orang lain. Hanya bisa menganguminya dari jauh.
Dan jujur saja, aku membicarakan lelakiku itu.
Sebelum menjadi lelakiku, ia pernah menjadi lelaki orang lain.
Dan aku sudah menyukainya sejak ia masih menjadi lelaki orang lain.
Itu lah mengapa aku tidak mau menyalahkan perempuan itu. Karena aku tahu persis rasanya seperti apa.

Perempuan itu cantik. Sungguh, aku tidak bohong. Ia memang cantik. Dari apa yang kuamati, ia ramah. Ia memiliki teman dan sahabat yang banyak. Ia mempunya jiwa pemimpin yang tinggi, kuat, tegar, dan menyukai klub sepakbola yang sama seperti lelakiku. Ia juga pandai merangkai kata.
Dibandingkan denganku?
Cih.
Aku hanya sepersekian darinya.
Dari semua kelebihannya, yang kupunya hanya pandai merangkai kata.
Aku tidak menyukai sepakbola. Aku lemah, hanya bisa menjadi anggota, tidak bisa menjadi ketua. Aku lemah, secara fisik dan juga mental. Aku lemah, hanya memiliki teman dalam jumlah sedikit. Aku lemah, karena aku menyakiti diriku sendiri hanya karena mengetahui perempuan itu menyukai lelakiku. Aku lemah, karena aku takut lelakiku akan pergi dan menyongsong perempuan itu.

Berulang kali aku mengingatkan diriku sendiri bahwa lelakiku tidak akan pergi.
Lelakiku hanya menyayangiku.
Hanya aku. Tidak ada celah untuk orang lain.
Tapi tidak. Berjalannya waktu, keyakinan itu goyah. Diiringi dengan banyak hal-hal di belakangku tentang hubungan khusus lelakiku dan perempuan itu yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Diiringi rasa sakit karena lagi-lagi merasa dibohongi dan dikhianati. Diiringi rasa sakit yang perlahan merayapi karena kepercayaanku seakan-akan dikikis habis olehnya. Diiringi rasa sakit dan juga marah karena perkataan dan janjinya yang tidak pernah terwujud.

Aku menyayanginya, sungguh. Lelakiku itu, aku menyayanginya. Sangat menyayanginya.
Aku hanya......
Aku hanya terlalu lelah.
Terlalu lelah untuk peduli.
Terlalu lelah untuk menunggu perwujudan janjinya.
Rasanya sudah cukup otak dan tenagaku kuhabiskan untuk memikirkan lelakiku dan perempuan itu. Karena toh, semuanya sia-sia.
Sampai aku menangis darah atau mulutku bernanah, tetap saja, bagi lelakiku, perempuan itu penting. Perempuan itu yang membantunya melalui masa-masa sulitnya disaat aku terlalu sibuk memikirkan rasa sakitku sendiri. Perempuan itu sahabatnya, dan tidak ada yang bisa lagi kulakuan selain menangis dalam diam.

Kau tahu, aku memang meminta lelakiku menjauhi perempuan itu. Haha, sungguh jahat bukan? Aku tidak memikirkan perasaan mereka berdua, aku hanya memikirkan rasa sakitku.
Ya, aku tahu.
Tapi ini satu-satunya jalan.
Aku hanya tidak mau perempuan itu sakit karena lelakiku terlalu memberikan perempuan itu harapan secara tidak langsung.
Kenapa aku bisa mengatakan seperti itu? Karena aku pernah merasakannya.
Lelakiku itu orang yang sangat baik. Sehingga sering membuat beberapa perempuan salah paham. Termasuk aku yang dulu, dan perempuan itu sekarang.
Aku hanya tidak mau harapan perempuan itu semakin melambung tinggi.
Tapi apa yang dikatakan lelakiku itu? Ia menolak permintaanku, Permintaan yang tak ia ketahui, bahwa itu adalah permintaan tebesar dan terakhirku.

Sudah cukup rasanya aku membuang air mataku dengan sia-sia. Itu adalah permintaan terakhirku.
Aku tidak akan meninggalkan lelakiku.
Aku hanya akan menanggalkan semua kepedulianku terhadap lelakiku dan juga perempuan itu.
Aku sudah tidak peduli lagi, karena semakin aku peduli, semakin sakit rasanya.
Biar lah mereka menjalin hubungan persahabatan atau mungkin lebih dari itu.
Aku sudah tidak peduli.
Aku juga akan membuang pembatas yang kubuat sendiri terhadap lelaki-lelaki lain di luar sana.
Pembatas supaya aku jangan menjadikan mereka sahabat, karena menurutku mempunyai sahabat saat masih memiliki hubungan adalah hal yang tabu. Karena di lingkunganku, mempunya sahabat lawan jenis hanya akan membawa keruntuhan hubungan.
Aku akan membuang pembatas itu.
Aku akan membahagiakan diriku sendiri.
Buat apa aku mempedulikan lelakiku dan perempuan itu, jika mereka sendiri tidak pernah mempedulikanku?

Aku menyayanginya, sungguh.
Tapi aku lelah.
Maaf.
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?