A Week

Sudah satu minggu sejak pertama kalinya saya menangis hingga sesak tak terkira. Hah, mengerikan.

Sebelum saya mengutarakan semuanya, di atas segalanya, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih karena sudah menemani saya selama 60 hari terhitung sejak sembilan belas, september, dua ribu enam belas. Sembilan belas, ya. Lagi-lagi sembilan belas. Tanggal dimana saya mulai dekat dengan Lelaki Luar Biasa itu juga tanggal sembilan belas, bulan desember. Itu lah kenapa saya pernah bilang sama kamu kalau saya menyukai angka sembilan belas. Karena dua lelaki yang akhirnya bisa membawa senyum di wajah saya setelah disakiti habis-habisan dengan masa lalu saya itu selalu datang di tanggal sembilan belas.

Terima kasih telah hadir lewat sapaan sangat sederhana kamu di malam hari tanggal sebelas di pukul sepuluh lewat empat puluh lima malam yang hanya berisikan tiga huruf nama saya. Terima kasih untuk alasan selanjutnya saat saya tanya, "ada apa?" dan kamu hanya menjawab, "tidak apa-apa. iseng aja." yang membuat saya tersenyum sendiri kala terbangun pukul satu pagi dan melihat namamu di ponsel saya. Terima kasih untuk keesokan harinya, tanggal dua belas, pagi hari, ajakanmu yang tak henti supaya saya besok ikut ke Sekolah. Padahal saya sudah berulang kali menolak dan memberikan alasan yang sama. "Malas". Tapi kamu selalu menahan saya dengan bujukan seperti, "ayo masuk, nanti kita cover lagu bareng" dan "iya masuk ya. yahh masuk dongg. janjiiiii:( masuk yayayaya" yang jika di audio-kan, terdengar seperti rengekan bocah kecil meminta supaya mamanya membelikan permen.
Terima kasih untuk seminggu setelahnya, tanggal sembilan belas, kamu lagi-lagi menyapaku dengan mengirimkan foto berisi window line kamu yang disana ada senior kita mengajak kamu mengikuti Retreat bersama dan kamu menyuruh saya untuk ikut hadir dalam Retreat tersebut. Permulaan chat yang konyol memang, tetapi siapa sangka dapat berlanjut hingga seterusnya?
Terima kasih untuk esok, dan esok, dan esok harinya sudah membuat saya tersenyum bahagia dengan omongan kamu yang mengatakan bahwa senyum saya manis (fyi, bukannya sombong, tapi saya lebih sering dibilang berparas cantik daripada memiliki senyum manis. Maka dari itu, saat kamu mengatakan senyum saya manis, saya terbang tinggi sekali.) Terima kasih untuk suatu malam, saat esok harinya saya akan ulangan sejarah wajib dan tiba-tiba kamu membantu saya dengan mengirimkan foto soal sejarah itu dan tidak lupa untuk mengingatkan saya supaya jangan tidur terlalu larut. Terima kasih karena sudah 'iseng' dengan mengatakan melihat earphone saya saat saya pikir benda itu hilang yang berujung saya marah dan meninggalkan kamu selama setengah jam lebih dan saat saya kembali mengaktifkan Wi-Fi, sudah lebih dari 10 pesan baru dari kamu yang menyatakan permintaan maaf. Terima kasih sudah mengatakan begitu banyak hal sederhana namun manis kepada saya. Kamu tidak akan mengerti betapa bersyukurnya saya dengan ucapan-ucapan manismu kala itu.
Terima kasih juga sudah memberikan minuman penyembuh kepada saya saat saya sedang sakit saat Retreat, terima kasih sudah berhasil membuat saya menangis konyol hanya karena saya pikir sepatu saya kamu buang, terima kasih sudah mau bernyanyi Everything Has Changed, Over and Over Again dan lagu-lagu Shawn Mendes lainnya bersama saya, terima kasih sudah begitu baik selama ini.

Kamu mungkin tidak tahu betapa berharganya kenangan-kenangan itu buat saya. Betapa saya sangat bersyukur kamu hadir kala itu. Saat saya harusnya hancur lebur karena diinjak orang yang saya sayang setengah mati, saat saya harusnya menangis keras malam tanggal delapan belas itu, saat saya harusnya tidak bisa tersenyum setelah seminggu penuh menangis karena dia, tapi kamu mengubah semua itu begitu cepat dalam waktu satu malam. Kamu menyembuhkan luka saya secepat itu, menutupnya dengan segala perhatian kamu yang saya kira tulus itu, melapisinya dengan harapan seakan kamu sayang saya.
Tapi nyatanya tidak.

Iya, saya tahu persis kok bagaimana rasanya berusaha menyukai seseorang tapi tetap saja hati ini tidak bisa dipaksa. Saya tahu persis. Saya tidak menyalahkan itu dari kamu.Yang saya kecewa adalah, kenapa kamu harus mengetahui semuanya dari orang yang kamu tahu persis adalah mimpi buruk saya? Kamu bisa tanya saya langsung semuanya. Kenapa kamu harus mengetahui semuanya dari dia, lantas menyimpannya sendiri, berpura-pura bodoh dan tidak tahu apa-apa, dan terus memberikan saya harapan? Kamu tahu nggak? Kamu udah menginjak dalam harga diri saya. Saya terus menerus menaruh harap sama kamu, meluapkan emosi saya di tempat-tempat yang saya yakin kamu tidak bakal tahu, tapi nyatanya kamu mengatahui semuanya, dari mimpi buruk saya itu, mempercayainya, menyembunyikannya lantas menyerang saya dalam satu malam.
Sesak ini bukan karena kamu tidak menyukai saya. Sesak ini karena rasanya saya dikhianati, tidak pantas untuk disayangi, dibodohi, ditertawakan dibalik punggung. Kamu mau tahu satu fakta kecil? Bahkan di malam saat saya dicampakkan oleh masa lalu saya, saya tidak sesesak itu menangis, Tapi malam itu, saya hampir tidak bisa bernapas saking sesaknya. Hebat sekali ya, kamu.

Itu saja yang ingin saya sampaikan. Saya hanya ingin bilang, jangan lagi memperlakukan perempuan lain seperti kamu mempermalukan saya dan teman dekat saya yang juga menyukaimu. Membuat harapan kami melambung tinggi, meredam gengsi dan sakit hati dengan mengakui sejujurnya lantas mencampakkan kami seenaknya. Semoga kamu bahagia ya, dengan siapapun nanti yang beruntung bisa disayangi olehmu. Terima kasih untuk pelajaran hidupnya selama 60 harinya.

T

PS: Dan untuk kamu, mimpi buruk. Berhenti menguntit saya, demi Tuhan! Saya sudah berhenti menguntit kamu sejak lelaki itu memutuskan untuk menginjak saya. Saya tidak lagi ingin berurusan dengan kamu sejak hari itu, karena saya pikir saya sudah menyerahkan dia seutuhnya untuk kamu dan saya tidak akan lagi diganggu. Tapi kenapa? Saya sudah tidak lagi mengganggu hubungan kalian, kan? Saya hanya ingi bahagia dengan lelaki lain, apakah masih harus kamu ganggu? Masih harus kamu rusak? Belum cukup masa lalu saya untuk kamu seutuhnya? Harus ya kamu melihat saya menderita lagi karena lelaki lain? Saya benar-benar tidak mengerti lho sama kamu. Dari saya tidak membenci kamu, membenci kamu habis-habisan, sampai sekarang saya tidak tahu lagi harus merasakan apa. Terima kasih lho ya sudah menguntit saya, memberitahukan segalanya ke pada lelaki itu dan membuatnya secara tidak langsung memaksa saya mengakui segalanya. Tahu tidak, saya merasa saya mau berbuat apapun sekarang seperti ada mata yang sedia menghantui. Saya tidak bebas lagi meluapkan emosi karena saya takut kamu mengetahuinya, memaki saya jahat dan memberitahukannya kepada semua orang. Salah saya apa sih sama kamu sebenernya? Saya bingung deh. Saya memaki kamu di blog ini juga karena salah kamu, saya memaki kamu di instagram saya juga karena kamu tidak memperhitungkan bahwa saya akan mengetahui akun palsu kamu itu, yasudah. Saya salah karena sempat merebut masa lalu saya itu dua bulan yang lalu, hah? Toh mau saya sampai nangis darah dan nanah, dia akan tetap memilih kamu kok, dan kita berdua tahu persis itu. Nah sekarang, salah saya apa, sampai-sampai saya mau move on aja diganggu.
Ah sudah lah. Ini ada tulisan terakhir saya tentang kamu, mimpi buruk. Semoga bahagia selalu ya, kamu. Ini bukan sarkasme, btw. Saya benar-benar mendoakan supaya kamu bahagia dan tidak perlu lagi menguntit hidup saya. Maaf karena saya terlalu jujur disini. Ini blog saya, emosi saya. Jangan cap saya jahat dengan tulisan saya. Cap saya jahat jika ada perlakuan/aksi saya yang menyakiti hidup kamu. Saya tidak pernah men-cap kamu jahat dengan tulisan-tulisan mengandung kebencian kamu terhadap saya, kok. Kita sama-sama penulis, bukan? Tulisan tidak pernah bohong. Begitu pun dengan tulisan saya kali ini. Maaf jika terlalu banyak menyinggung. Saya lelah sekali memendamnya. Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?