Lagi-lagi Tentang Mimpi


23.40


Mimpi.

Apakah kau pernah bermimpi?

Bukan, bukan bunga tidur yang terselip di balik bantalmu setiap malam. Bukan juga bayangan sementara saat kau tertidur dalam perjalanan menuju kota. Ini tentang cita-cita. Ingin jadi apa kau di masa depan? Apa kau punya?


Aku punya. Mimpi yang kukira tak bisa diraih melihat kerasnya realita.


Juni 2017, 13.

Aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta jurusan Hubungan Internasional. Malam sebelumnya, aku benar-benar menangis sembari duduk bersimpuh berdoa kepada Tuhan. Dalam doaku, aku berusaha keras untuk meminta yang terbaik, namun tetap saja terselip keegoisan supaya yang terbaik itu sesuai dengan mimpiku selama dua tahun terakhir. Malam itu, tidak bisa tidur aku dibuat lantaran sibuk berandai-andai esok hari masa depanku akan berlabuh di mana. Pengumuman ujian tulis itu diadakan pukul 2 siang, dan sedari pagi, jantungku sibuk berdebum tak karuan. Dan begitu pukul 2 siang, begitu berita itu tiba, aku menangis. Bukan, bukan menangis bahagia. Namun menangis kesal, marah, tak rela.

Ini bukan mimpiku. Disaat kedua orangtuaku sibuk memelukku sambil menangis dan berdoa, diam-diam aku menaruh dendam pada Tuhan. Tak bisa kupingkiri beda sakitnya hatiku saat mengetahui aku gagal menggapai mimpi disaat aku begitu yakin aku mampu. Malam itu, lagi-lagi aku menangis. Memandangi langit-langit kamar dengan perasaan kosong. Apa memang ini yang Tuhan mau? Apa memang ini jalan yang dibuat untuk mencapai kesuksesanku? Malam itu, dan malam-malam selanjutnya selama satu tahun adalah malam dimana aku bingung dengan hidupku sendiri.


Juni 2017, 16.

Siang itu aku pergi merayakan diterimanya aku di perguruan tinggi negeri bersama kedua kakakku. Hari ini pun bertepatan dengan pengumuman ujian tulis jilid dua yang telah kuikuti kurang lebih sebulan yang lalu. Tapi aku tidak peduli lagi. Semalam, aku akhirnya berserah kepada Tuhan (meskipun belum sepenuhnya) karena aku yakin aku tidak akan diterima di Universitas Impian itu. Tapi Tuhan berkata lain. Di dalam lift ketika aku ingin pulang, aku membacanya. Pengumuman itu mengatakan aku diterima, di Universitas Impian dengan jurusan yang sama sekali tidak pernah kubayangkan akan terwujud. Sastra Jepang. Aku, yang tidak pernah tau sedikit pun tentang bahasa maupun kebudayaan Jepang, diterima di sana. Aku, yang menaruh pilihan Sastra Jepang ketika mendaftar hanya karena memenuhi kuota dan tak pernah serius menganggapnya ada, diterima di sana. Beruntung? Tidak juga. Aku menyebutnya terberkati, namun sial. Begitu sampai di rumah, ayahku berlari dan memelukku sembari menangis. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, namun yang pasti perasaanku tetap sama. Marah, gusar, dendam, tak rela. Aku merasa dipermainkan. Baru saja semalam aku berserah, menerima masa depanku di jurusan yang cukup diminati banyak orang tersebut. Namun siang ini, lagi-lagi masa depanku dipermainkan. Kemana Tuhan? Apa Ia terlalu sibuk untuk hanya sekedar melihatku dengan sungguh-sungguh, dan menaruh masa depanku tepat di tempat yang kuinginkan selama ini? Kenapa selalu meleset? Aku salah apa? Aku hanya ingin bermimpi!


Banyak orang merasa aku pintar dan beruntung, diterima di dua perguruan tinggi dalam waktu tiga hari. Orangtuaku bangga sekali menceritakannya kepada setiap orang yang mereka temui. Tapi aku tidak. Selama satu tahun, aku marah. Aku dendam kepada Tuhanku sendiri. Setiap kali pergi ke rumah-Nya, aku tidak pernah bisa serius berdoa. Tak hanya itu, aku berhenti percaya kepada-Nya. Aku tak lagi mengikuti kegiatan rohani dimanapun, tidak pernah berdoa, selalu merasa gusar dan bingung terlebih ketika aku mulai belajar menyukai Jepang. Sesuatu dalam diriku berteriak agar aku kembali mengejar mimpiku dengan belajar, namun sesuatu yang lain mengatakan untuk menyerah dan menemukan mimpi baru di kampus sastra ini. Selama satu tahun aku bergelut dengan diriku sendiri, membiasakan diri dengan pemandangan orang-orang yang begitu bahagia belajar di tempat pilihan mereka. Dan ketika satu tahun lebih tujuh belas hari berlalu, aku mendapat harapan baru.


Juli 2018, 3.

Aku menang. Akhirnya, aku diterima di jurusan impian dan kampus impian itu. Apakah aku senang? Jelas. Namun, ada satu perasaan yang jauh lebih mengganggu daripada senang dan bahagia. Aku bingung. Sudah satu tahun lebih aku mengutuk Tuhanku sendiri, menaruh dendam pada-Nya, gusar setiap kali ada berita keselamatan tentang-Nya. Namun hari ini, Ia lagi-lagi menunjukkan kuasa-Nya yang melebihi akal sehat manusia. Aku tahu aku tidak mampu, ketika ujian pun aku sama sekali tidak serius menjawabnya meskipun aku ingin. Aku tahu aku akan gagal. Tahun lalu aku mengerjakan dengan sangat serius saja aku kalah, apalagi tahun ini? Namun tidak bagi-Nya. Tuhanku begitu baik. Ia memberikanku waktu satu tahun untuk benar-benar berserah pada-Nya dan tidak mengandalkan kekuatanku sendiri. Kuakui tahun lalu aku begitu sombong. Kukira aku mampu menakhlukan soal karena terbiasa mengerjakannya berulang kali hingga aku hapal dimana saja jebakannya berada. Mungkin tahun lalu Ia marah karena aku tidak mempercayakan masa depanku pada-Nya secara menyeluruh, lantas menghukumku denga menempatkanku dia dua tempat yang sama sekali tidak kuinginkan. Ia ingin melihat aku berjuang dari titik terendah, ketika aku tidak memliki pengetahuan sama sekali tentang jurusan yang kupilih asal-asalan itu. Tuhanku sangat sangat baik. Ia membiarkanku membenci-Nya, mengutuk-Nya, mengembara selama satu tahun tanpa arah, dan ketika saatnya tiba, secara tidak sadar aku kembali pada-Nya.


Juli 2018, 10.

Sudah satu minggu sejak berita membahagiakan itu datang. Aku bahagia, namun tidak ingin terlalu mengumbar, tapi tetap bahagia. Aku pun masih tidak yakin apakah dengan diterima di jurusan dan kampus impian lantas mempermudah jalanku menuju mimpi satu tahun lalu itu, namun ada satu hal yang terus kuyakini. Selama aku berserah, tidak ada yang mustahil bagi Tuhanku. Mungkin ini kisah sederhana, tentang perempuan pemimpi besar yang dikalahkan realita dan berbalik menyalahkan Tuhan. Namun ini menjadi titik baru bagiku. Setiap kali aku mengingat hal ini, rasanya aku terharu dengan kisahku sendiri. Kupastikan akan keturunkan ceritaku ini kepada keturunanku kelak, bagaimana Ibunya pernah mengalami titik terendah hanya karena jurusan di perkuliahan. Di masa yang akan datang, aku yakin masih banyak rintangan hidup yang menghalangi dan tentunya jauh lebih besar. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya, aku punya satu mimpi yang telah terwujud dan kupegang erat. Karena lagi-lagi ini tentang mimpi. Tidak ada yang mampu melawan mimpi. Seperti seekor harimau yang akan marah jika tidurnya diganggu karena ia tidak ingin mimpinya dirusak siapa pun, begitu pula aku. Tidak ada yang salah dari bermimpi. Bermimpi lah selagi kau bisa, berjuang lah untuk mendapatkannya, karena dari situ lah hidupmu yang baru akan lahir.






- Salah satu pejuang mimpi. Calon Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta 2017, Mahasiswa Sastra Jepang Universitas Indonesia 2017, dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia 2018.-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?