Ratih


          Saya punya teman, cukup dekat, bisa dibilang sahabat tapi saya terlalu malu mengucapkannya. Namanya Ratih. Hari ini ulang tahunnya. Untuk pertama kalinya saya berdedikasi, menulis tentang seseorang yang bukan diri saya, mantan saya, mantan gebetan saya, sahabat mantan saya, dan tokoh fiksi yang saya buat sendiri dalam satu post utuh (jika kamu pembaca blog ini pasti tau siapa yang saya maksud). Saya menulis ini di hari ulang tahunnya dengan harapan tulisan ini cukup layak untuk dijadikan hadiah kecil (hadiah besarnya menyusul, tunggu saya punya uang ya, tih). Kamu boleh lihat ini sebagai hal yang menjijikan, tapi tolong jangan ilfeel sama saya, oke?
          Kenapa saya menulis tentang Ratih hari ini? Selain karena hari ini ulang tahunnya, saya merasa berhutang banyak pada Ratih tahun ini—oh, bukan hanya tahun ini, tapi sejak 4 tahun lalu. Saya menyebut dia sebagai Partner in Pain, karena ia menjadi saksi atas hampir semua kepedihan yang saya alami selama 5 tahun terakhir. Ratih memang bukan satu-satunya, namun yang paling lama bertahan dengan saya.
        Penat ya, Tih, mendengar cerita saya? Pasti penat sih. Saya juga penat mendengar cerita kamu yang melulu soal laki-laki itu. Tapi penat tidak bisa mengalahkan rasa bersyukurnya saya akan kamu. Kita bukan teman yang bercakap setiap hari, hang out setiap akhir pekan, atau telepon rutin hingga jam 3 malam. Kita cenderung hanya menghampiri ketika sudah terlalu penat dengan hidup, dan saya amat sangat bersyukur dengan hal itu. Kamu teman berbagi kesusahan yang saya alami, meskipun sering kali kebahagiaan saya bukan saya bagi dengan kamu. Namun, memang begitu kan, manusia? Menemukan seseorang untuk berbagi kebahagiaan itu mudah, sangat mudah. Untuk berbagi kesusahan? Sulit, sangat amat sulit. Tapi kamu berbeda, Tih. Kamu mau.
        2015, kamu adalah orang yang menyemangati saya satu hari sebelum saya mengakhiri hubungan dengan mantan saya. Kamu pula yang ikut menangis dengan saya, di belakang kelas, satu hari setelah saya mengakhiri hubungan saya. Akhir 2015, kamu terus menopang saya dikala saya terlalu takut untuk keluar kelas hanya karena saya tidak kuat menahan emosi melihat mantan saya dan sahabatnya bersenda gurau di balkon sekolah.
      2016, kamu adalah orang yang paling giat mendukung tujuan saya untuk berdamai dengan mantan saya. Kamu rajin bercakap dengan mantan saya, dan memberikan kalimat yang melambungkan angan saya seperti “dia masih saying sama lo, The”. Pembohong unggul memang kamu jika soal omongan manis, namun tetap saja saya bahagia mendengarnya. Akhir 2016, kamu yang saya beritahu ketika saya dibonceng mantan gebetan saya sampai halte, atau percakapan saya dengannya, atau bahkan gombalan yang ia lontarkan pada saya. Masih kamu juga yang saya panggil malam itu, Tih. Ketika mantan gebetan saya itu membuang saya, dan saya nangis sejadi-jadinya. Kembali, masih terus kamu, Tih, yang menenangkan saya taktala saya menangis esok paginya di kelas karena terus teringat malam menyakitkan itu.
      2017, kamu adalah orang yang mendukung saya untuk terus tegar menghadapi sahabat mantan saya itu. Terlebih ketika insiden “instagram saya dijebol”, kamu yang terus menopang saya dengan candaan dan kalimat manis kamu. Kamu juga orang yang bahkan di hari wisuda masih cerita kepada saya mengenai lelaki kamu.
      2018, kamu adalah orang pertama yang menanyakan hasil SBMPTN saya yang kedua, padahal saya pun tidak seantusias kamu kala itu. Akhir 2018, kamu jadi orang pertama di luar teman peer saya yang mengetahui soal Gelmab, dan, jadi orang pertama yang tahu dampak kegiatan itu terhadap kondisi mental saya. Malam itu, Tih, saya memberikan voice note yang berisi saya menangis. Menjijikan, sangat menjijikan. Tapi kamu tetap mendengarkannya.
      2019, kamu adalah orang pertama yang tahu saya melakukan ‘sesuatu’ untuk melepas penat, kamu orang pertama yang tahu anxiety yang saya alami, kamu orang pertama yang tahu perasaan saya terhadap peer group SMA saya, kamu orang pertama yang tahu apa yang saya alami dengan ayah saya, kamu orang pertama yang tahu masalah saya dengan kakak saya, kamu juga orang pertama yang tahu perasaan saya setelah saya masuk jurusan baru di universitas. Dalam 6 bulan ini, amat banyak kepedihan yang saya alami. Semuanya saya beberkan ke kamu dalam satu malam, dan kamu mendengarkan semuanya itu, memberikan saran dan juga dukungan.
     Saya pernah bilang ke kamu jika saya pernah punya teman dekat yang fungsinya sama seperti yang kita jalani sekarang, tempat berbagi kesusahan. Saat itu posisi saya adalah kamu, dan dia adalah saya. Kondisi mentalnya tidak stabil, sama seperti saya sekarang. Tapi saat itu saya tidak kuat menghadapinya, saya meninggalkannya ketika ia sedang sedih-sedihnya. Saya jahat, saya akui itu. Saat itu saya masih berusia 15 tahun dan saya tidak mampu menghadapi seseorang dengan kondisi mental yang seperti itu. Saya belum siap mengayomi dia dan segala kesusahan yang ia hadapi. Tapi kini kita sudah 20 tahun, Tih, dan saya ada di posisi dia sekarang. Jadi, jika kamu sudah terlampau penat dan muak dengan kesusahan saya, segera bilang, ya, Tih. Jangan tinggalkan saya begitu saja seperti kedua (mantan) lelaki kita itu. Saya akan berusaha untuk tidak terlalu bergantung pada kamu lagi. Toh kita berdua punya cukup banyak teman, hehe.
        Akhir kata, terima kasih banyak, ya, Ratih, sudah bersedia menjadi Partner in Pain saya selama 4-5 tahun ini. Jujur, awalnya saya nggak sadar bantuan moral kamu sebanyak ini buat saya. Malam di tahun 2019 itu lah yang menyadarkan saya kalau dari sekian banyak teman saya, cuma kamu yang bersedia jadi tempat berbagi kesusahan di saat yang lain hanya menjadi tempat berbagi kebahagiaan. Semoga kamu tetap mau jadi teman saya sampai masing-masing dari kita menikah ya, Tih. Semoga kamu selalu bahagia juga karna kamu itu orang baik, Tih. Sangat baik. Orang baik jodohnya pasti orang baik juga, jadi jangan terlalu berharap sama mantan lelakimu itu karena dia itu jahat, nggak cocok sama kamu

            Dah itu aja.
            Selamat 20 tahun, Ratih.



T

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?