A little piece of you.

Pernahkah kamu merasa dibenci oleh orang yang kamu sayang? Bukan "dibenci" dalam arti sempit, dimana ia mengirimkan surat kaleng berisi ancaman, atau mungkin secara terang-terangan mencacimu di depan banyak orang. Bukan yang seperti itu. Maksudku, merasa dibenci olehnya. Ia memberikan senyum terpaksa jika kau berada didekatnya, atau ia berusaha keras menjauhimu dalam hal apapun, bahkan ia sering menunjukkan sikap 'tidak suka' atas segala hal yang kau lakukan. Pernahkah? Kalau pernah, mungkin kau sama seperti ku. Mencintai, tapi dibenci. Menyesakkan.

"Nda,"
"Wanda?"
"WANDA!!"
Aku tersentak ke belakang bangku dan kehilangan keseimbangan kalau saja sebuah tangan mungil tidak menahan sikuku dengan sigap.
"Ohh, c'mon, Nda. Jangan ngelamun lagi, bisa? Untuk saat ini aja. Kita ada tugas yang harus dikerjain." keluh Ibel
"Maaf." kataku pelan. Aku menundukkan kepala sedalam yang kubisa
Ibel menghela napas dan mengelus rambutku pelan. "Lupain dia dulu untuk sementara, ya? Yeah, setidaknya sampai tugas kita kelar." Ibel melepas elusannya dan mulai menulis sesuatu dalam bindernya
Aku hanya mengangguk pasrah dan mulai meneliti kertas-kertas yang diberikan Ibel walaupun sebenarnya pikiranku sedang melayang entah kemana.

Namanya Gilang. Gilang Hartawijaya. Ia termasuk lelaki 'biasa saja' di kampusku. Teman-temannya tidak lebih dari laki-laki sekitar rumahnya dan lingkungan kelas saat kuliah. Otaknya tidak lebih dari taraf 'standar'. Penampilannya juga tidak lebih dari Tom Cruise atau Orlando Bloom. Bahkan tidak lebih dari Remi, kapten basket khusus fakultasku. Ia hanya lelaki biasa berkulit putih dengan tinggi 183 senti dan rambut hitam yang tidak pernah melebihi telinga dan tengkuk leher. Standar. Tidak lebih, dan tidak kurang.
Kami satu SMA 3 tahun lalu. Saat pertama kali melihatnya, aku biasa saja. Jantungku tidak berdegup cepat, aku tidak mengulum senyum manja, dan perutku tidak mengepakkan sayap kupu-kupu. Gilang termasuk lelaki yang kurang terkenal dan pendiam. Ia hanya berbicara seadanya dan secukupnya. Sederhana dan misterius.
Sampai satu hari, disaat hujan deras melanda sekolahku saat aku masih SMA, dan sialnya lagi, aku lupa bawa payung. Awalnya aku menunggu di kelas bersama beberapa teman, tapi lama kelamaan mereka pergi pulang. Ada yang dijemput, ada yang nekat menembus hujan sialan itu. Kenapa aku tidak ikut nekat?  Well,sebenarnya aku ingin. Ingin sekali. Tapi aku membawa serta laptop dan kamera Canon kesayanganku. Dan aku tidak punya persiapan plastik satu lembar pun. Karena kelas sepi, aku memutuskan untuk menunggu di luar. Bukan di balkon, tapi di bawah. Dekat pos satpam yang kecil. Kenapa aku memilih tempat itu? Aku sendiri tidak tahu.  Satu jam... dua jam.... dan hujan sialan itu tetap tidak menunjukkan tanda berhenti. Mungkin jika keadaannya di rumahku, aku akan sangat senang menerima kenyataan hujan lama berhenti, sehingga aku bisa tidur tanpa perlu menyalakan AC. Tapi, keadaanku sekarang berbanding terbalik. Sama sekali. Sepatuku mulai basah dan aku bisa merasakan air mulai merambati kaus kakiku. Rambutku lepek dan wajah yang kuyakin pasti tidak keruan. Aku tidak tahan lagi. Sudah hampir tiga jam berdiri-duduk tidak jelas di tempat sempit ini membuatku bisa mati lumutan. Akhirnya, aku memutuskan untuk nekat sembari mendekap tasku erat-erat. Jika akulari cepat, menyebrang dengan kecepatan penuh, dan beruntung mendapatkan angkot yang kuinginkan, mungkin tasku tidak akan terlalu basah. Ya, begitulah rencanaku awalnya. Tapi sayang, Tuhan berkata lain.
Dengan keyakinan penuh, aku berlari dengan penuh semangat sembari menundukkan kepala dalam-dalam. Tidak mampu melihat ke depan dan menyerahkan seluruh keyakinanku pada mata kakiku supaya menuntunku dengan baik. Tapi lagi-lagi, mata kakiku pun tidak mau diajak kompromi. Ia menuntunku dan dengan enaknya menabrakkanku pada seseorang yang cukup tinggi tepat di belakang gerbang sekolah.  Tubuhku linglung seketika tapi tanganku tetap mendekap erat tasku. Alhasil, pantatku mendarat mulus di tanah yang diisi air setinggi mata kaki. Dengan cepat, air merambati rokku yang membuatku meringis kedinginan serta sakit. Aku mengadahkan kepala dan berusaha keras melihat siapa yang menabrakku atau lebih tepatnya, siapa yang kutabrak.
Sosok tinggi itu menundukkan kepala dan tiba-tiba merengkuh kepalaku sambil berusaha menarikku supaya berdiri. Rengkuhannya terasa hangat ditengah hujan deras seperti ini. Perlahan, ia menuntunku menuju pos satpam yang penjaganya sendiri pun entah kemana. Tangannya masih merengkuhku dengan erat sesampainya kami disana. Dadanya naik-turun dengan kemeja sekolah yang melekat akibat basah. Perlahan, aku menjauhkan diri darinya supaya bisa melihat siapa superheroku hari ini. Betapa terkejutnya aku begitu melihat Gilang, lelaki yang bahkan jarang kuanggap ada, berdiri menatapku dengan napas yang tersengal-sengal. Rambutnya basah seluruhnya dan jatuh tepat di depan mata kirinya. Tetes air turun dari ujung rambutnya, merambati keningnya sejenak, meluncur di hidung bangirnya, dan berakhir di bibir ranumnya. Matanya yang cokelat kehitaman menatapku tajam dan sarat rasa khawatir.
"Nggak apa-apa?" tanyanya begitu napasnya mulai teratur
Aku hanya menganggukkan kepala
"Masih sakit?" tanyanya lagi
Dan lagi-lagi, aku hanya menganggukkan kepala
Ia terdiam sejenak, tapi kemudian melanjutkan, "maaf ya,"
Pernyataannya barusan merangsang bibirku supaya membantahnya. "Kok elo yang minta maap? Kan gue yang nabrak. Harusnya gue yang minta maap," aku terdiam dan menarik napas dalam sebelum berkata dengan malu-malu, "maap ya. Lo jadi basah kuyup gini."
Ia tersenyum. Dan—ooh, shit. Senyumnya seakan menahan mataku supaya tidak bergerak kemana-mana. Aku selalu berpendapat, orang membosankan, pasti mempunyai senyum yang membosankan. Bukan maksudku untuk menuduh Gilang adalah lelaki yang membosankan, hanya saja, karena hubungan kami tidak dekat, aku menganggapnya... yah...Membosankan.
"Nggak apa-apa, kok. Lagian gue liat lo udh lama banget disini. Hampir tiga jam malah. Iya, kan?" matanya membulat dan alisnya dinaikkan semua. Untuk wajahnya yang tidak terkesan baby face sama sekali, gerakan itu sangat lucu menurutku.
Tapi ada satu yang mengusikku. "lo liat gue udah lama disini? Maksudnya?" tanyaku
"Nasib gue sama kayak lo. Nunggu ujan berhenti, tapi yang ada malah makin deras. Jadinya neduh aja disini, sekalian ngobrol sama Pak Makrum, tapi dia sekarang lagi ke toilet bentar." jelas Gilang
"Ooohhh," aku menganggukkan kepala. Pantas saja, aku merasa Pak Makrum sedang mengobrol dengan seseorang karena suara tawa Pak Makrum terkenal sangat membahana. Nggak mungkin kan, Pak Makrum ketawa sendirian. Ia masih waras.
"Lo.....," ia mengerutkan kening tampak berpikir dan mengamati wajahku dengan seksama. Aku merasa pipiku mulai panas diamati seperti itu olehnya. "Wanda, kan? Wanda Lita?"
Wow. Wooww. Ia tahu namaku! Ternyata ia tidak membosankan dan pendiam, atau bahkan kuper. Ia tahu namaku! Ia tahu nama—tunggu. Memangnya kenapa kalau ia tahu namaku? Pasti ia tahu namaku. Kami kan sekelas. Dasar idiot.
"I-iya. Lo Gilang, kan? Gilang Wijaya?" tanyaku memastikan, walaupun aku yakin sekali benar.
Gilang terkekeh sebentar dan mengulum senyum manis, "kurang 'harta'nya."
"Kurang apa?" aku mendekatkan tubuh dan mengamatinya aneh.
"Nama gue Gilang Hartawijaya. Kurang 'harta'nya." katanya lagi
Uh'oh. Padahal aku sudah yakin sekali namanya benar. Ternyata..... salah.
"Lo mau pulang nembus ujan deras gini? Nggak takut kepeleset lagi?" tanya Gilang yang aku yakin sekali, sedang menyindirku halus.
"Nanti aja kali, ya?" aku mengalihkan pandangan darinya dan melihat titik-titik hujan yang turun dari sela-sela genting pos satpam. Hujan masih cukup deras, walaupun memang tidak sehebat tadi.
"Tunggu bentar lagi mau? Nanti bareng gue. Kita juga nggak boleh lama-lama disini. Nanti lo sakit." ujar Gilang
'Nanti gue sakit'? Teng-tong. Radar kegeeranku mulai menyala.
"Boleh, deh." kataku pelan.
Dan begitu lah awal pembicaraan kami. Sakit, manis, dan membuat jantung berdebar. Tetap terpatri manis dialam otakku. Sampai sekarang.


TBC


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?