A little piece of you. #2

Dulu aku berpikir biasa tentang cinta. Maksudku, apa sih yang harus diribetin tentang cinta? Cinta itu cuma istilah tentang rasa sayang yang begitu mendalam terhadap seseorang, ngga lebih. Lagipula, itu hanya istilah yang biasa dipakai di novel atau film romantis. Nggak punya efek yang besar sama manusia, menurutku. Tapi? Tebak apa, aku.... jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Seperti kebanyakan cerita yang kubaca dan kutonton, aku memiliki ciri-ciri persis seperti yang dituturkan sang penulis atau produser. Bibir mengulum senyum, mata yang berusaha keras supaya tidak terlihat saat memperhatikannya, perut yang bergejolak seperti ada ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya tiap kali aku di dekatnya, jantung yang berdebar tidak beraturan, dan otak yang tidak bisa bekerja dengan benar. Terkadang mengesalkan memang, tapi aku menyukainya. Manis setiap kali kuingat. Bahkan sampai saat ini, saat aku duduk di dalam kelas asuransi kejiwaan bersama kurang lebih 10 orang dan satu orang dosen yang menjelaskan sambil mengantuk, aku masih mengingatnya. Dan, ya, aku masih melakukannya. Diam-diam kulirik Gilang yang berbeda 3 kursi dariku. Gilang sedang mengamati bukunya dengan pandangan kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Ingatanku kembali sesaat setelah pertemuan manis dengan Gilang 3 tahun lalu.

"Lo sakit, Nda?" tanya Ibel
"He-eh," aku menarik hidung sesaat sebelum cairan bening encer mengalir turun dari hidungku. "udah diabsen kan? Nggak alfa, kan?"
"Iyaa, Wanda sayangg." kata Ibel. "Btw, lo tau Gilang kan?"
Tubuhku menegang dan dan aku memegang ponsel lebih erat ke telingaku. "Iya. Kenapa?"
"Dia nanyain elo terus dari tadi. Bikin gue kesel jadinya." kata Ibel dengan nada sedikit merenggut. Aku tahu pasti ia sedang mengerucutkan bibirnya di seberang sana
"Nanyain gimana...?" tanyaku pelan-pelan
"Dia nanya 'Wanda sakit? Sakit apa? Di rumah atau di Rumah Sakit? Parah nggak?' dan bla bla bla." terdengar bunyi grasak-grusuk sebentar, "ngeselin parah, kan?"
Aku menggigit bibir dan membasahi bibirku yang kering. Jantungku berdegup cepat dan aku merasakan suaraku bergetar, "dia....nanya kayak gitu?"
"Iyaaa! Udah gitu, dia nanya-nanya ke gue rumah lo dimana, gue kacangin aja. Abis, want to know banget sih." jawab Ibel
"Diaapa?" aku mendekatkan ponsel ke telinga dan berharap bahwa telingaku tidak ada yang salah
"Dia pengen ke rumah lo kayaknya, cuma gue nggak kasih tau dimana rumah lo. Bener, kan? Lo kan paling nggak suka orang-orang freak macam Gilang dateng ke rumah lo."
"Dia nggak freak......." sahutku pelan
"Apa?"
Aku tersentak dan buru-buru meralat perkataanku. "Ya! Tindakan lo bener! Dia emang freak. Makasih yaa udah nggak kasih tau alamat gue." kataku dengan nada gembira
"Oke deh. Eh, Nda, udah dulu ya. Emak gue bawel nih. Cepet sembuh ya, sayangg." kata Ibel diiringi dengan suara kecupan
"Iya, sayangg. Makasih yaa. Bye!" aku menutup telepon dan menutup wajahku dengan kedua tangan. Sekelebat, datang bayangan kemarin saat Gilang tersenyum padaku, dan membawakan tasku di tengah hujan. Dia...... ingin kemari? Tapi..... buat apa? Toh, kemarin aku sudah memintanya supaya tidak apa-apa. Emang, sih, aku janji untuk masuk hari ini. Tapi, mana aku tau, kalau tiba-tiba saat aku sampai di rumah, segalanya langsung gelap, dan kata Mama aku pingsan cukup lama.
"Litaa," suara ketukan pintu membuatku tersadar.
"Ya, Ma?" sahutku dari balik selimut
"Ada temennya, nih."
Temen? Siapa? Perasaan Ibel nggak bilang kalau bakal jenguk. Lagian, aku udah suruh dia supaya nggak jenguk, kok.
"Siapa, Ma? Ibel?" aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamarku. Mama, yang memang selalu terlihat cantik, tersenyum mesem-mesem ke arahku.
"Nggak. Cowok, kok." kata Mama
Cowok?? Siapa?? Adi?  Nggak mungkin. Tadi, dia malah udah sms kalo nggak bisa jenguk karena kebetulan Mamanya juga lagi sakit.
"Siapa?" tanyaku dengan dahi berkerut
"Katanya, namanya Gilang. Mama belom pernah liat dia kesini, lho. Orangnya juga lumayan ganteng."
Jantungku serasa berhenti berdegup. A-apa kata Mama? Gilang?? Gilang yang ituu??
"Lita? Kok diem? Kamu siap-siap, gihh. Mama suruh ke sini aja ya?" dan belum sempat aku menjawab, Mama sudah keburu turun ke lantai bawah.
Aku segera masuk kamar, melihat ke cermin, danoohh,shit. Aku buruk sekalii!
Dengan sigap, kuambil sisir dan berusaha menyikat rambutku yang cukup kusut dengan terburu-buru. Kuganti piyama shaun the sheepku yang sudah awut-awutan dengan kaus tipis berwarna pink soft dan jeans pendek. Ooh, don't forget this. Parfum. Yah, walaupun aku sudah mandi, tetap saja aku nggak mau malu di depan Gilang.
Saat aku tengah sibuk membereskan ranjang, pintu kamarku terketuk. Aku buru-buru menghampirinya setelah sejenak mematut diri di depan cermin dan mengangguk oke. Aku menarik napas dalam dan menarik kenop pintu.
Oh. Ooh. Oohhh damn! It's really Gilang! And, uuuh, aku nggak mau bohong kalau dia terlihat lebih tampan dari biasanya. Tubuh tingginya dibalut kemeja hitam dan jeans biru tua. Ditangannya, ia menggenggam seikat mawar merah yang masih segar. Ia tersenyum hangat padaku, dan bisa kurasakan pipiku memanas.
"Masih sakit?" suara rendahnya membangunkan lamunanku yang melenceng saat melihat bibir merah ranumnya yang.... umm. Menggoda.
"Kalo udah nggak sakit, gue bakal sekolah kali, Lang." kataku. Uh'oh. Nada bicaraku terdengar sarkatis ditelingaku. Semoga dia tidak menyadarinya.
"Hahahaha, masih normal ternyata. Gue kira abis sakit lo jadi rada error." Fiuhhh. Untungnya dia tidak menyadari nada bicaraku. Tunggu. Tadi dia bilang aku apa??
"Error? Hellow, gue demam biasa, bukan ayan." sahutku
Gilang tertawa lepas. Begitu ia selesai tertawa, ia mengulum senyum dan melirik ke dalam kamarku. "So? Kita tetep berdiri disini? Gue sih nggak apa-apa. Tapi nanti elonya makin sakit lagi."
Aku tersadar sedari tadi kami masih berdiri di depan kamarku. Melihat Gilang mengulum senyum seperti itu, aku merasa ingin terus hanyut dalam lamunan terlarangku.
"Oh, iya. Ayo, masuk. Maaf berantakan." aku mempersilakan Gilang masuk sementara mataku sibuk menjelajahi seluruh penjuru kamarku. Tempat tidur single dengan seprai bercorak pink-hitam yang sudah sempat kurapikan sebentar, sofa beludru merah marun dengan empat bantal yang sudah kuatur, tv/media player/dan perangkat karaoke, checklist. Dua rak buku tinggi menjulang yang, yeah, bukunya tidak terlalu rapi seakan sering dibaca tapi masih terlihat nyaman, dan perangkat belajarku. Sempurna.
"Waow. Kalo gue punya kamar kayak gini, lebih baik gue sakit berhari-hari deh." kata Gilang sembari berdecak kagum dan mengamati seluruh kamarku.
Aku tersenyum dan ikut menikmati pemandangan kamarku. Yeah, aku pun setuju dengan Gilang. Kamarku terbilang sangat nyaman, dan aku merasa bisa tinggal selamanya di sini.
"Yeah, i agree with that." jawabku dan merebahkan tubuhku di atas ranjang.
"You can sit there on sofa, you know, Lang." ujarku saat melihat Gilang masih setia berdiri di depanku.
Gilang terkekeh. "Gue nggak biasa duduk sebelum dipersilakan." ujar Gilang dan kemudian duduk di atas sofa yang hanya berjarak dua meter dari ranjang.
"Jadi? Apa kabar?" tanya Gilang
"Masih sakit, tentunya. Tapi udah mendingan kok." jawabku
Gilang kemudian ber'ooh' dan terdiam beberapa saat. Saat-saat awkward pun terjadi diantara kami. Aku pun tidak tahu harus berbicara apa. Biasanya, aku cerewet. Tapi di depan Gilang, entahlah, aku merasa lidahku kelu. Apalagi dengan, yeahh, pakaiannya yang membuatku tidak bisa lepas melihatnya.
"Jadi? Lo dateng cuma mau nanya kabar?" aku memutuskan untuk mengakhiri awkward moment dan bertanya padanya.
"Engga juga, sih," Gilang berdiri dan menyodorkan bunga mawar merahnya padaku, "mau kasih ini sebenernya." katanya
Aku terkesiap dan memutuskan untuk ikut berdiri. Dengan malu-malu aku mengambil bunga dan menghirupnya diam-diam. Wangiii.
"Cepet sembuh ya, Nda. Gue...." Gilang terdiam sesaat dan menggigit bibirnya
"Lo...kenapa?" aku tidak tahan melihat bibirnya yang digigit sedemikian rupa itu
"Gue ngerasa bersalah aja udah buat lo sakit." jawabnya
Aku tertegun. Gilang? Buat aku sakit?? Maksudnyaaa?
"Mungkin karna kemarin lo harus nunggu gue ditengah hujan. Soalnya gue balik lagi ke sekolah karna...." ujar Gilang dan aku langsung memotongnya

"Karna tas kecil gue ketinggalan?"
Gilang mengangguk lesu dan takut-takut menatap mataku
"For God's sake, Lang! Itu salah gue kali. Dan lo udah sangat berbaik hati lari ke sekolah buat ngambil tas gue." aku tersenyum dan menepuk bahunya, "makasih banyak, ya. Gue ngga tau kalo nggak ada lo kemarin, jadi apa gue sekarang."
Gilang menatap mataku cukup tajam dan aku bisa merasakan jantungku berdebar cepat, "lo sekarang sakit, Nda. Dan itu nggak baik."
Aku merasakan pipiku memanas. Tanganku sibuk memilin ujung baju dengan gugup. Aku bisa merasakan mata Gilang masih menatapku tajam. Akhirnya aku menyerah dan mundur selangkah sembari mengangkat tangan
"Okey, i'm sorry. Gue sakit. Itu ngga baik. Terima kasih karna udah nolongin gue. Puas?"
Gilang mengerjap dan matanya ganti menatapku hangat. "Itu lebih baik."
Aku menurunkan tangan dan dengan malu-malu tersenyum pada Gilang. "So?"
Gilang mengangkat alisnya heran
"Lo kesini cuma buat numpang duduk,ngasih bunga, dan ngomel-ngomel?" tanyaku tidak tahan
Gilang mengangguk polos
Ugh. Berarti emang akunya yang kegeeran. Emang mau ngarep apa lagi dari Gilang? Dia bakal kecup kening aku sambil ngucapin get well soon gitu? Uh. Sincerely hope.
"Udah jam segini ternyata," Gilang mengangkat tangan kirinya yang dilingkari jam tangan hitam. "gue pulang dulu ya, Nda. Harus bantu emak jualan nih."
"Oh?" aku menggigit bibir kecewa. Sialan. Kalo tau kayak gini doang, ngapain aku ganti baju? Mending pake piyama trus nyapa dia males-malesan deh. Kalau perlu nggak usah dibiarin masuk aja.
"Bye, Wanda," Gilang bergerak kikuk di tempatnya, dan sedetik kemudian tangannya terulur dan menyentuh kepalaku. "cepet sembuh, ya." ia cepat-cepat menarik tangannya dan aku bisa melihat dengan jelas rona merah samar di pipi putihnya.
Wow. Woww. Wowwwww! Aku menarik kata-kataku!! Aku tidak menyesal karna telah berganti baju dan membiarkan dia masuk. Aku seratus persen bahagia atas keputusanku!
Aku hanya mengangguk cepat. Rasa panas itu masih di pipiku dan sekarang perutku melilit akibat kepakan sayap kupu-kupu yang terbang lincah. Oh God.
Gilang berjalan kikuk menuju pintu dan membukanya. Aku mengikutinya dari belakang seperti zombie. Otakku masih berusaha mencerna kejadian tadi sepenuhnya. Tapi, tiba-tiba tubuh tinggi menjulang itu berhenti tepat dihadapanku dan karna kurang cepat berhenti, aku menubruk punggungnya.
Gilang berbalik dan tersenyum geli. "Jangan sampai lo jatuh di rumah lo sendiri, Nda. Karna kemungkinan, gue ngga ada disana buat narik lo bangun."
Oh God!!Apa maksudnyaaaa? Jangan, Wanda Lita. Jangan. Jangan terbang. Jangan kikuk. Jangan....berharap. Tapi, aku ngga bisaa!
Aku hanya mengangguk cepat dan berusaha memaksakan senyum. Gilang balas tersenyum dan kemudian hilang di balik pintu kamarku.
Aku mundur selangkah demi selangkah dan akhirnya merebahkan diri di atas ranjang empukku. Berusaha mengingat lagi dengan jelas saat tangan Gilang terulur dan menyentuh kepalaku, bunga mawarnya, dan kata-katanya sebelum pulang.
Aku menyukainya. Aku sangat menyukainya. Dan kemungkinan, aku menyayanginya. Dan lagi, suatu saat, aku yakin aku akan mencintainya.

Seseorang menjawil lengan kananku yang dibalut kardigan hijau zamrud. Aku tersentak dan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menoleh ke arah kanan. Ibel.
"What?" aku berkata tanpa suara
"Sebelum lo lanjutin berbengong-bengong ria, sebaiknya lo nengok ke kiri pelan-pelan." bisik Ibel
Aku mengikuti sarannya dan kembali ke posisiku semula. Diam-diam kulirik ke sebelah kiriku, dan, ops. Gilang sedang menatapku dalam diam. Aku segera kembali memandang dosen dengan jantung berdebar.
Sucks.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?