Terjebak masa kini.

Aku, terjebak masa kini. Masa-masa suram yang tidak bisa kuubah lagi. Mungkin bisa, tapi tidak total. Hanya perubahan kecil yang tidak menghasilkan apa-apa. Perubahan yang maya sehingga tidak berarti apa-apa. Aku merasa terjebak dalam kepekatan hitam yang menyesakan. Berlebihan memang, tapi itu yang kurasakan. Sesak nafas. Rasanya mau menghilang dari bumi. Ini adalah sedikit kisah suramku tentang kamu. Maafkan aku jika tulisanku yang satu ini menyinggungmu dan menyakitkan hati kecilmu. Aku sudah tidak kuat lagi, Sayang.

Aku tidak tahan lagi. Rasanya ingin memakimu dengan lantang sampai habis suara. Rasanya ingin menamparmu dan memukulmu hingga habis tenaga. Rasanya ingin meneriakan apa salahku hingga habis airmata. Rasanya ingin mengatakan aku masih menyayangimu sampai habis segala cintanya.
Aku salah apa? Aku sudah berbuat apa lagi? Katakan padaku! Jangan diam saja! Punya mulut, kan? Punya otak juga, kan? Kamu sudah lelah berkata-kata salahku apa karena salahku terlalu banyak? Cih. Kalau begitu namanya tidak punya perasaan! Kamu sudah lelah karena aku begitu menyusahkan? Kamu sudah lelah mengungkapkan yang sebenarnya karena kamu yakin semua pasti akan terulang lagi? Kamu sudah lelah kubuat cemburu? Atau, kamu sudah lelah akan kita? Bilang!

Kamu kira aku tidak sama lelahnya denganmu? Kamu tidak berpikir mungkin aku lebih lelah darimu? Aku perempuan, dan kamu laki-laki. Masa egomu lebih besar dari seorang perempuan? Masa gengsimu lebih tinggi dari seorang perempuan? Buka mata! Ada seorang yang sakitnya lebih sakit darimu! Jangan berpikir sakitmulah paling sakit. Kamu bilang semuanya akan kembali terulang. Saat-saat kapan? Saat kita masih terlalu lugu untuk mengerti segala hal tentang "hubungan khusus"? Kamu menyamakan saat ini dengan saat dimana kita masih menjadi bocah ingusan? Hebat. Ya, memang. Kuakui tingkah kita sekarang jauh lebih buruk daripada bocah ingusan yang masih belajar "pacaran". Tapi bukan berarti kita seperti mereka, kan? Lagipula, aku tanya, siapa yang memulai duluan? Aku, kamu, atau kita? Siapa yang memulai mendiami aku, memulai aksi jutek dan dingin, dan mengabaikan? Siapa? Terakhir kali aku melihatmu saat penerimaan raport kelas 8. Kamu bahkan tidak menyapaku sedikit pun. Malah, Ibumu yang menyapaku. Aku seperti tidak terlihat di matamu. Kamu kira itu enak? Seorang perempuan yang masih terikat dengan laki-laki tapi dianggap seperti hantu kasat mata oleh pacarnya sendiri? Enak? Hah?! Sebenarnya aku berniat ntuk memberi selamat karena nama kamu lagi-lagi bertengger paling atas di secarik kertas yang ditempel di pintu kelasku. Nama yang memperoleh nilai paling tinggi yang membuat iri. Tapi, ternyata, kamu pun tidak mau melihatku. Ucapan selamat itu tertahan diujung lidahku dan akhirnya harus kembali kutelan bulat-bulat.

Ulang tahun kamu pun akhirnya tiba. Hanya berbeda satu minggu lebih 2 hari dari hari penerimaan raport. Aku memberanikan diri untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang romantis melalui dunia maya. Sudah lama aku tidak mengirim pesan-pesan singkat dengan emote kecupan ata tanda peluk. Kau tahu, saat aku mengirimi pesan selamat ulang tahun itu, aku sedikit ragu. Apalagi melihat pesan didalamnya seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan kita baik-baik saja. Tapi, ternyata, kamu membalasnya. Sama romantisnya seperti dulu. Manis, dan membuatku tidak bisa menghilangkan senyum. Kamu juga mengirimkan emote yang membuatku melayang lagi. Walaupun hanya di dunia maya, aku tetap menyukainya. Aku merasa bahwa ini awal dari kembalinya masa-masa kita dulu. Tapi, kenyataan berkata lain. Entah sejak hari apa, tiba-tiba kita merenggang lagi. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Aneh, bukan? Kenangan saat ulang tahun serasa mimpi. Bahkan, saat aku kembali membaca pesan-pesan singkat kita, aku merasa itu bukan kamu. Bukan kamu yang membalas pesan itu. Itu hanya orang yang menyerupai kamu tapi versi lebih ramah, hangat, dan romantis. Tidak seperti kamu yang ku kenal sekarang. Dingin, jutek, dan cuek. 

Lalu, hari-hari berlalu. Tiba saatnya aku, kamu, dan teman-teman kita menginjak kelas tertinggi tingkat SMP. Waktu pertama kali menginjakkan kaki setelah sekian lama membusuk di rumah, aku berharap bisa melihatmu. Aku berharap kamu melihatku dengan senyuman seperti dulu. Dengan ketukan pelan di keningku, dan tanganmu yang menyentuh rambutku. Hangat. Membuat jantung berdebar. Dan pasa saat yang sama, kenyataan kembali berkata lain. Kamu datang dengan pandangan seolah-olah tidak melihatku. Aku berusaha menenangkan diri dengan berpikir bahwa mungkin kamu memang tidak melihatku. Aku masuk ke kelas baruku, dan kutemukan kamu. Kamu melihatku, tapi tidak berkata dan berbuat apa-apa. Seakan aku ini ya....hanya aku. Tidak punya hubungan apa-apa denganmu. Hanya seorang perempuan yang masuk di kelas yang sama. Tidak kenal, dan tidak berniat mengenal lebih dalam. Menyakitkan, kau tahu? Aku berusaha menahan emosiku. Aku tidak mau meledak di hari pertama masuk sekolah. Lagipula, aku masih mempunya pekerjaan lain. Bertemu sahabat-sahabatku yang sudah lama tidak kulihat. Aku akhirnya membiarkan kamu untuk sementara dan berharap suatu hari kita bisa kembali lagi.

Aku memulai menata hidupku tanpa hadirnya suara cemprengmu. Tanpa genggeman tangan yang biasanya kudapatkan setiap saat. Tanpa sentuhan lembut di pipi,rambut,dan kening yang biasanya kurasakan setiap saat. Tanpa pesan-pesan singkat di dunia maya dan sapaanmu yang biasanya kulihat setiap saat. Dan tanpa hadirnya debaran jantung yang tidak beraturan dan senyum yang mengembang yang biasanya kuperlihatkan setiap kali bersamamu. Hampa. Hanya diiringi tawa sahabatku yang memang tidak pernah berhenti. Hanya diiringi lembaran-lembaran diary yang mulai kutulis sejak kita menjauh. Kita memang sering meminta maaf satu sama lain. Dulu. Tapi, hanya didunia maya. Di kelas, kita tetap saja seperti orang asing, yang berarti, permintaan maaf sama saja tidak berguna. Aku mulai lelah. Aku berusaha menjaga jarak dengan laki-laki lain di kelas untuk menjaga perasaanmu. Menjaga tutur kataku takut jika ada kata yang menyakitkan hatimu. Tapi, semakin kulakukan itu, semakin sakit hatiku. Melihat diriku sendiri berpura-pura dalam kebohongan yang menyesakkan. Kamu pasti berpikir bahwa aku tidak apa-apa. Diluar, Sayang. Didalam, kamu tidak tahu. Betapa banyaknya airmata yang kujatuhkan untukmu. Betapa sakit hatiku jika melihatmu. Kamu di depan mereka, bahkan sahabatku, serasa baik-baik saja. Walaupun, yah, harus kuakui, kamu lebih dingin dari biasanya. Tapi, di depanku, kamu berubah luar biasa. Hebat.

Sekarang, aku mulai menyimpang. Maaf, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini. Aku sudah lelah akan perlakuanmu. Ingat sekali lagi. Aku perempuan. Aku tidak mempunyai hati setegar laki-laki. Aku mulai membuang jarak dengan laki-laki di kelas dan mendekatinya sesuka hatiku. Membiarkan segalanya campur aduk dalam tawa. Bahkan aku, menganggap kamu tidak ada. Kamu sadar itu, kan? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan. Kamu tahu sifatku yang satu itu, Sayang. Aku akan melakukan apa yang orang lain lakukan. Baik itu indah, atau jelek. Kamu memperlakukan aku seperti kotoran yang melihatnya saja kamu sudah jijik Seperti sampah yang bisa dilihat tapi malas diperhatikan. Seperti asap yang layak dijauhi supaya kamu tidak sakit. Ya, itu kamu. Kamu melihatku, tapi mengacuhkan. Kamu mendengarku, tapi memilih mengacuhkan. Sehina itukah aku? Selelah itukah kamu sampai-sampai secara tidak sadar kamu memperlakukan aku begitu? Aku sakit, Sayang. Terkadang bertahan dalam kesakitan memang mengajari banyak hal. Ketika kamu tidak menanggapi, aku diajar untuk bersabar. Ketika kamu tidak membalas, aku diajar untuk mengerti. Ketika kamu mengabaikan, aku diajar untuk memahami. Dan, ketika pada akhirnya, kamu memilih pergi, aku sendiri yang memutuskan. Akan mengikhlaskan atau membenci. Aku berusaha untuk tidak pergi karena jujur, aku masih sayang padamu. Terserah kamu mau percaya atau tidak, itu hakmu. Sebenarnya aku ingin menagih janjimu dulu. Kamu akan menceritakan segala masalah yang membuatmu tidak enak. Apa saja. Entah itu masalah pelajaran,keluarga, dan aku sendiri. Tapi, ya, aku belum cukup berani berbicara padamu. Lebih baik membiarkanmu berbicara sendiri tanpa harus kupaksa. Walaupun itu berarti aku harus menunggu lagi dalam kesakitan dan ketidakpastian.

Aku, terjebak masa kini. Maafkan aku jika tulisanku menyakiti hatimu. Aku hanya ingin mengutarakan perasaanku yang begitu bergejolak meminta diluapkan. Kamu tahu, saat menulis ini, bulir-bulir airmata terjatuh begitu saja. Berlebihan, tapi ini jujur. Menangis untukmu dan untuk kita adalah hal yang terlampau sering bagiku. Aku harap kamu mengerti. Kita lihat saja. Siapa yang lebih dulu pergi. Aku atau kamu. Biar Tuhan yang berbicara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?