Yang hilang telah kembali.

Buram.
Aku mengerjap beberapa kali dan mengusap mataku perlahan. Pemandangan yang awalnya buram mulai berbentuk sempurna dan menampilkan pemandangan yang sudah kukenal kurang lebih seumur hidupku.
Aku meraba bawah bantalku dan menemukan ponselku dalam keadaan mati total. Sial, aku lupa mengisi baterainya semalam. Aku mengerang dan berusaha untuk tidur kembali. Namun, ketika memejamkan mata, sekelebat bayangan itu muncul lagi. Sosok siluet hitam tinggi dengan postur tubuh yang begitu kukenal. Agak membungkuk, tapi cukup tegap. Aku segera membuka mata dan bangun dari tidurku. Duduk bersimpuh di atas ranjang dan berusaha untuk tidak menangis lagi. Yang hilang telah kembali. Dan kembalinya dia, membawa harapan indah yang bisa saja berubah menjadi mimpi buruk yang tidak terlupakan.

*** 
"Hayoo, ngelamun lagi!" sebuah tepukan ringan mampir di pundakku.
Aku tersentak dan menoleh untuk melihat siapa yang menepukku.
"Jangan ngagetin gue deh, Van." kataku malas
Vanya terkekeh sebelum duduk dan meletakan 2 buah gelas plastik berisi capuccino cincau di meja marmer di hadapan kami.
"Lagian elo ngelamun mulu daritadi," Vanya mengambil gelasnya dan menyeruput isinya dengan berisik, "ngelamunin itu lagi?"
"Menurut lo?" aku ikut mengambil gelas plastik yang masih tersisa dan menyeruputnya dalam diam
"Lo yakin itu beneran dia?" tanya Vanya
"Ngga terlalu, sih..." jawabku dengan pandangan melayang
"Emang lo masih inget rupanya gimana? Lagian terakhir lo ketemu dia itu waktu masih SMP. Sekarang kita udah 25 tahun, Key."
"Memori otak gue ngga kayak elo, Van." sahutku kalem
"Sialan!" Vanya melempar bantal persegi ke arahku sambil tertawa lebar. Mau tidak mau, aku ikut tertawa sambil membalas memukulnya. Tapi itu hanya terjadi sesaat. Mengingat kejadian yang kualami ini sangat susah mendapat penawarnya.
"Jadi? Masih mau terpuruk?" Vanya kembali menyeruput capuccinonya ketika melihat aku kembali melamun
"Semua orang ngga ada yang mau terpuruk, Van. Termasuk gue." jawabku setelah mendesah dramatis
"Kalo gitu jangan sedih terus! Cari kesenangan baru, kek. Yang penting sibukin diri lo biar tuh kenangan cepet ilang." kata Vanya
"Kerjaan gue kan cuma nulis. Novel romance lagi. Trus gue harus cari kesibukan kayak apa?" aku menunduk lesu sambil memutar-mutar sedotan di gelas plastik capuccino
"Lo mau dapet kepastian, gak?" Vanya berkata setelah memasang tampang berpikir
"Apa?" tanyaku malas
"Lo cari dia, trus lo tanya dia masih inget ngga sama lo? Setelah itu, ya.... tergantung Tuhan." usul Vanya
"Lo udah gila ya?!" sontak aku duduk tegak dan menatapnya kaget
"Cuma itu satu-satunya cara supaya elo ngga gini terus, Key. Kalo lo berusaha cari kesibukan tapi memori otak hebat lo itu tetep ngga mau ilang, malah makin parah kan? Bisa-bisa lo bukan nulis novel romance lagi, tapi novel psycho!"
Aku terpekur mendengar penuturan Vanya. Ada benarnya juga, sih. Tapi, gimana caranya aku nemuin keberadaannya dia? Wong, aku cuma kebetulan ketemu dan bertatapan sama dia seminggu yang lalu. Dan kebetulan itu terjadi 5 kali dalam seminggu. Hebat, kan?
"Jangan pikir lo sama dia cuma kebetulan ketemu. Kebetulan yang sering terjadi namanya bukan kebetulan lagi, lho. Itu kan yang lo tulis dalam novel lo?" Vanya berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku
"Jadi... gue ketemu dia selama ini itu takdir?"
"Bisa jadi. Makanya dicari tau," Vanya memajukan pantatnya dan mendekat ke arah ku sambil menyentuh pundakku ringan. "Lo pasti bisa, Key. Percaya sama Tuhan kalo rencana yang mau lo laksanain ini berhasil. Oke?"
Aku terdiam sejenak. Tuhan, jika ini memang rencanaMu, aku tidak bisa menyalahkan. Aku hanya ingin mendapatkan kejelasan. Bantu aku, ya tuhan.
"Oke. Besok kalau 'kebetulan' gue ketemu dia lagi," aku mengangkat tangan dan membentuk tanda kutip di udara, "gue bakal tanya apakah dia masih kenal sama gue setelah pengakuannya dulu. Tapi kalau engga, emang bukan jodoh. Ya, kan?" aku tersenyum
"Nah, gitu dong. Lebih baik kalah tapi udah berperang daripada menyerah tanpa syarat." Vanya mengambil capuccino yang tadi ia letakkan sebentar di meja marmer dan menyeruputnya kembali. Aku menirunya dan sibuk berkomat kamit dalam hati. Semoga saja bisa takdir mempertemukan kita lagi.

 ***
Aku bangun pagi dalam keadaan yang benar-benar malas. Dengan baju tipis warna hitam,celana pendek,dan wajah mengantuk, aku membuka pintu kamar dan langsung disergap wangi masakan yang begitu menggugah selera. Mama sudah pulang.
Aku berjalan dengan langkah diseret menuju dapur. Kebiasaan Mama, setelah pulang dari pekerjaan keliling dunianya sebagai jurnalis sebuah majalah, pasti langsung masak di dapur tercintanya. Dan kebiasaannya itu ia turunkan kepadaku yang seorang penulis dan pecinta memasak.
"Hai, Ma," aku memeluk Mama dari belakang saat ia sedang memotong sayuran
"Hai, Key. Baru bangun?" Mama menoleh sebentar dan lanjut memotong. Walaupun umur Mama menjelang kepala empat, tapi keadaan tubuhnya tetap segar dilihat. Wajahnya yang memang sudah menunjukan kerut-kerut kecil masih terlihat cantik di wajah tirusnya. Badannya yang memang langsing, dan kulit kuning langsatnya. Selain menurunkan bakat dan kebiasaannya, Mama juga menurunkan mata sebesar almondnya padaku, dan rambut panjang hitamnya. Kalau kulit putih ini aku dapatkan dari Papa yang sudah meninggal 6 tahun yang lalu.
"Iya. Aku mandi dulu ya. Mau jalan." kataku
"Sama Vanya?" tanya Mama
"He'eh," jawabku dan pergi dengan malas ke kamar mandi setelah mencomot satu udang goreng tepung.

***
Setelah mematut diri di depan kaca untuk yang ketiga kalinya dan merapikan rambut, aku melangkah keluar kamar dan duduk di meja makan untuk sarapan. Mama sudah menunggu disana sambil menuang sayuran ke piringnya.
"Tumben jalan sepagi ini." Mama membuka percakapan setelah selesai doa makan bersama
"Nggak tau tuh si Vanya. Katanya mau nemenin dia kemana gitu, aku lupa." jawabnya seraya memasukan sendok berisi makanan ke mulut
Mama menganggukan kepala dan ikut memasukan makanan. Begitu sarapan selesai, aku segera menyalami tangan Mama dan pamit untuk pergi. Sebenarnya aku bohong. Vanya tidak mungkin jalan sepagi ini karena sekarang dia sedang bekerja di salah satu perusahaan farmasi. Tidak mungkin ia mengambil cuti hanya untuk menemaniku mencari "buruan" yang sudah lama kucintai dari SMP. Jadi, ya, aku hanya berbohong. Aku akan berjalan-jalan ke Toko Buku untuk mencoba apakah keberuntungan berpihak padaku kali ini.

Aku menaiki salah satu angkutan umum berwarna merah dan turun tepat di depan Toko Buku yang sudah terkenal di seluruh Indonesia itu. Aku menghela nafas pelan dan berjalan masuk. Aku tersenyum kepada penjaga pintu dan menitipkan tasku di tempat penitipan lalu melenggang menuju eskalator. Menaikinya dengan perasaan gugup dan takut. Takut bahwa tempat yang kupilih ini salah dan takut tidak bertemu dia. 
Aku melangkah dan langsung disambut rak setinggi 3 meter dengan plakat bertuliskan "BUKU LARIS". Aku menyusuri satu persatu buku yang terpampang dan tertumbuk pada 3 novel dengan 2 cover cerah dan 1 cover sedikit gelap. Novelku. Aku tersenyum dan berjalan mendekati rak itu. Memainkan jariku di 3 novelku itu. Ada perasaan aneh yang selalu berdesir setiap aku menyentuh novel buatanku sendiri. Apalagi melihatnya terpampang jelas di rak buku laris Toko Buku ternama di Indonesia. Sungguh suatu kebanggaan sendiri untukku walaupun novel itu hanya sekadar novel romance. Bukan novel yang kemudian hari akan mengubah dunia. Tapi, setidaknya, memang inilah cita-citaku dari kecil. Tepatnya, setelah bertemu dengannya saat SMP. Saat ia sedang melihatku menulis dan bertanya apakah yang kutulis. Dengan malu-malu, aku menjawab bahwa aku sedang menulis cerpen. Ia tampaknya tertarik dan berkata dengan binar-binar di matanya bahwa ia suka membaca. Ia mendukung cita-cita yang semula semu itu. Ia terus mendorongku untuk menulis lebih banyak lagi. Sungguh manis jika mengingatnya.

Aku meninggalkan rak buku laris dan menyusuri barisan rak untuk novel remaja dan dewasa. Aku mengulurkan tangan dan meraba satu persatu sambil membaca judulnya. Saat aku memutuskan untuk meninggalkan rak itu untuk menuju rak komik, seorang lelaki menubruk dan tidak terhindarkan lah tabrakan kecil itu.
"Aduh!" aku meringis kesakitan sambil memegang pundakku. Tapi, begitu aku melihat kebawah, lelaki itu sedang membereskan buku-buku yang tadi terjatuh selagi tabrakan itu. Aku segera ikut menunduk dan merapikan beberapa buku. Setelah semua beres, aku mengangkat wajah dan berniat untuk meminta maaf. Tapi, alangkah kagetnya aku begitu melihat lelaki yang tadi menubrukku. Lelaki itu juga tidak melepaskan pandangannya dari mataku. Tanpa kusadari, jari-jariku mengerat sambil memegang buku yang belum sempat ku kembalikan padanya. Tatapan itu mengunci dan membuatku tidak bisa lepas. Lelaki itu tampaknya sadar terlebih dahulu. Ia mengambil buku di tanganku dan berdiri dengan cepat. Dan begitu ia ingin berbalik badan, dengan cepat aku meneriakan sebuah nama yang sangat kuharap adalah namanya.
"Sam!"
Lelaki berjaket hitam itu berhenti dan membalikan tubuhnya. Ia menatapku terkejut. Aku juga tidak kalah kaget karena ternyata namanya betul Sam.
Aku berdiri dan mendekat ke arahnya. Aku menarik nafas dalam dan berusaha sekuat tenaga supaya kegugupanku tidak timbul ke permukaan.
"Samuel Andreas?" tanyaku perlahan
"Y-ya," ia menjawab pelan dengan tatapan bingung.
"Masih kenal aku?" aku mengatur suaraku supaya tidak terdengar seperti suara berherap meskipun aku memang sangat berharap
Ia memperhatikanku dari atas sampai bawah dan menatap mataku dalam. Ia membuka mulut dan berbicara dengan suara ragu. "Keyla Stevani?"
Aku mengangguk mantap dan menatapnya dengan pandangan penuh harap. Satu detik, ia tidak bereaksi apapun. Dua, tiga, empat, sepertinya ekspektasiku terlalu jauh. Wajahnya tetap tenang dan terkesan datar. Tapi, detik kelima, ia menghamburkan pelukannya dengan erat ke arahku. Aku yang kaget akan aksinya, dua detik kemudian langsung memeluknya erat. Kejadian seperti ini pernah kutulis dalam salah satu novelku, tapi aku tidak menyangka bahwa aku akan mengalaminya dalam dunia nyata. Bersama Sam. Cinta pertamaku yang hilang selama hampir 13 tahun tanpa jejak.Tiga hari setelah ia menyatakan perasaannya padaku saat kita masih duduk di bangku kelas 2 SMP, ia menghilang. Guru-guru yang mengunjungi rumahnya berkata bahwa ia sudah pindah keluar kota. Jelas saja aku syok berat. Mengingat kami baru jadian 3 hari. Saat itu belum ada HP dan akun sosial. Mungkin sudah ada, tapi aku belum mengenalnya. Terpaksa aku terus menunggunya dan berharap saat kelas 3 SMP ia kembali datang ke Sekolah ini. Ternyata, ia tidak datang. Sampai satu minggu yang lalu, aku dipertemukan lagi dengannya saat aku baru saja selesai beribadah sore di  Gereja. Ia ada di Gerejaku. Saat itu ia sedang bersiap untuk meluncur dengan motornya. Aku menatap punggungnya dengan perasaan yang tidak asing. Dan begitu lelaki itu membalikkan badan, aku terkesiap. Lelaki itu juga menatapku, tapi buru-buru naik ke motornya dan menancap gas meniggalkan pekarangan Gereja. Sejak hari itu, luka yang sudah lama kupendam mulai kembali terkuak diiringi dengan harapan dan mimpi buruk yang berdatangan.

Sam melepaskan pelukannya dan menatapku hangat. Aku membalas tatapannya.
"Udah berapa lama ya kamu pergi?" tembakku
Ia terdiam dan wajahnya pucat perlahan-lahan. Ia memandangku kikuk dan salah tingkah. "13 tahun?"
"Kamu ngitungin juga, ya?" tanyaku lagi
Ia mengangguk malu
"Ngga mau ngomong apa gitu?" kataku
Ia menatap mataku dengan perasaan bersalah. "Maaf, Key....Aku minta maaf udah hilang gitu aja dari kamu... Kamu masih ingat saat dulu aku cerita soal ayahku yang tinggal di AS?"
Aku mengangguk. Ayah dan Ibu Sam memang sudah cerai sejak Sam masih berada di bangku kelas 4 SD.
"Ayah... meninggal...," Sam menghela nafas sebelum kembali melanjutkan, "aku, Rob, sama Mama langsung terbang ke AS. Mama memutuskan untuk menetap disana untuk ngurus kerjaan Ayah. Kayaknya mereka emang masih cinta deh. Buktinya Mama sampai bela-belain tinggal di AS. Cinta yang udah dipersatukan Tuhan memang ngga bisa dipisahkan manusia ya? Walaupun menurut pemerintah mereka sudah pisah."
Aku terdiam. Sam menatapku dalam.
"Sama seperti kita. Selalu ada cara bagi Tuhan untuk mempersatukan orang-orang yang menurutnya layak untuk dipasangkan. Meskipun sempat terpisah, nyatanya ia kembali lagi kan?"
Tetes airmata tidak bisa ditahan lagi dari pelupuk mataku. Ia menetes begitu saja tanpa peringatan. Aku memeluknya erat dan menangis sejadi-jadinya di dada bidangnya. Tangan Sam membelai rambutku dengan halus. Begitu aku mendongakan kepala, Sam menatapku teduh.
"Kita kayak tokoh di novelmu itu ya?" katanya
Aku terkesiap dan melepas pelukannya. "Kamu baca novel aku?"
"Aku pembaca segalanya," katanya. Sam mendekatkan tubuhnya dan mengulurkan tangan untuk menghapus airmata di pipiku. "jujur aku kaget saat liat nama kamu ada di 3 novel yang berjejer di rak buku laris itu. Tapi, aku langsung sadar, bahwa cita-cita kamu dari dulu memang itu. Memajang namamu di rak buku laris."
Aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. Sam cukup membuatku terdiam dan terpesona dengan kata-katanya tadi.
"Yang hilang telah kembali. Membawa harapan dan cinta yang sudah lama dibawa pergi. Kalau di alkitab, kamu itu udah dikasih makan untuk makanan babi, tau." kataku sambil mengutip salah satu kejadian di kitab suciku.
"Hahahaha," Sam tergelak dan menatapku sambil tersenyum. "Tuhan masih baik sama Aku, makanya dikasih makanan normal untuk manusia. Yang penting, yang hilang telah kembali, dan tidak akan pergi lagi." katanya
"Yakin?" tanyaku
"Tidak pernah seyakin ini." jawabnya seraya memelukku kembali.


Uthe

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?