A little piece of you #3

"Kenapa sucks?"
Aku melepas headsetku sebelah kanan dan menatap Ibel dengan mata berputar
"Menurut Belinda Casanova apa?" aku mengeluarkan suara mengeluh dan kembali memasang headset.
Ibel menarik headset dan menatapku kesal. "Kenapa Belinda Casanova bertanya, karena sejauh yang gue liat, Wanda Lita sangat mencintai Gilang Hartawijaya."
"Uh, peuhleeze. Gue emang sayang sama dia, cuma, saat lo jelas-jelas lagi ngelamunin dia, dan tiba-tiba lo sadar kalo orang yang lo lamunin lagi ngeliatin lo, gimana nggak ngeselin?" kataku sedikit kesal
Ibel mengangkat alisnya dan mengetuk-ngetukan telunjuk di dagunya, "bener juga sih."
Aku menggelengkan kepala dan menatap setumpuk kertas putih yang baru saja diberikan Wenda. Katanya sih, buat project. Aku sendiri bingung projek apa itu.
"Psst." Ibel menggeser lenganku cukup keras sehingga membuatku menjatuhkan kertas-kertas yang sedang kupegang.
"Ibel! Apaan sih?" sembari merenggut, aku memungut kertas yang bertebaran di samping kiriku. tiba-tiba saja, sebuah tangan terulur dan memungut kertas-kertas itu.
"Lain kali hati-hati dong, mbak."
Aku mendongak dan mendapati sosok jangkung berkulit kecokelatan akibat paparan sinar matahari. Rambut hitamnya yang dibiarkan agak panjang menutup sebagian telinga dan tengkuknya.
"Hai!" aku tersenyum lebar saat melihat sosok Evan Halim berdiri menjulang di hadapanku.
"Hai,Van," sapa Ibel dengan senyum lebar yang sangat kukenal. Sangat dipaksakan.
"Kok disini?" tanyaku setelah mengajaknya ikut duduk disampingku. Ibel segera memutar bola mata dan bergeser lebih jauh.
"Ini kampus gue juga, Lita." jawabnya dengan suara rendah yang mendebarkan
Hanya keluargaku yang biasa memanggilku dengan nama Lita. Ibel pun tidak biasa memanggilku dengan nama itu karna menurutnya freak. Evan pun sebelumnya memanggilku Wanda. Tetapi, saat mengetahuiku keluargaku memanggilku dengan nama lain, ia bersikeras untuk mengubah panggilannya untukku. Katanya sih, untuk lebih akrab. Tapi, aku tahu ada alasan tersendiri baginya.
"Ya gue juga tau, Evan."aku terkekeh dan menepuk bahunya lembut, "bukannya lo lagi di Bogor? Ada acara tentang bola gitu kan?"
Untuk kalian yang belum tahu, Evan Halim adalah kapten sepakbola khusus untuk jurusanku. Dia terkenal sekali, tentu saja. Selain prestasinya di lapangan, ia juga termasuk atlit renang berbakat dan sewaktu-waktu bisa menjadi koki yang cukup hebat. Tapi, aku beritahu sesuatu. Evan pintar di non-akademis, sedangkan dalam hal pelajaran, ia jauh dibawah. Mungkin ini sebabnya ia sering bolos kuliah dengan alasan bola, renang, atau terkadang masakan. Licik, tapi tetap saja selalu lolos dari dosen.
"Gue baru aja pulang. Jam 7 pagi tadi."
"What?" aku melirik jam tangan ungu tua di pergelangan tangan kiriku dan mendapati sekarang baru jam 10. Yang berarti, baru 3 jam setelah dia pulang.
"Dan langsung melesat ke sini." lanjutnya
Aku mendecakkan lidah dan menatapnya sembari menggelengkan kepala, "lo nggak capek?"
Ia tersenyum. Manis sekali, kalau kalian ingin tahu. Bibirnya terbuka cukup lebar, dan sederatan gigi putih bersih menampakan kilauannya. "Buat ketemu lo, kenapa mesti capek?"
Oh. Wow. Kapten sepakbola, atlit renang, dan koki andal sejurusan sedang menggodaku. Well, menyenangkan sebenarnya. Tapi.... aku....
"Nda!"
Aku segera menengok dan melihat Ibel menggerakan tangannya dan menyuruhku mendekat. Fiuh.
"Makasih banget, Bel. Gue gatau kalo tadi lo nggak manggil gue, harus ngomong apa gue sama dia."
"Bukan itu masalahnya, Wanda sayang." bisik Ibel. Ia tiba-tiba menangkup wajahku, menggesernya sedikit ke arah kiri, dan..... uh'oh. I know what she wanna show to me.
"See?"
"Yup."
Aku segera membalikan badan, tetapi tangan Ibel lebih cepat sehingga ia kembali memutar badanku.
"What?" aku menatap Ibel kesal
"Lo ngeliat kan yang tadi?" tanya Ibel
"So what? I saw 'em. Okay? Sekarang gue harus balik lagi. Ada orang nunggu gue di sana." dan aku segera berbalik meninggalkan Ibel yang kuyakin sedang mengerucutkan bibirnya, menatapku dengan pandangan menyipit, dan kemudian pergi entah kemana.
Aku sendiri kembali menuju bangku tempat Evan menunggu. Lelaki itu tampak bermain dengan smartphonenya. Ia sendiri tak sadar saat aku diam-diam memerhatikannya dan duduk di sampingnya. Sifat yang sama persis dengan Gilang. Dan tiba-tiba, ingatanku kembali lagi saat dimana pertama kali aku menyadari sifatnya yang satu itu. Dan juga kenangan manis di dalamnya.

"Mau makan apa?" tanya Gilang saat kami tiba di salah satu restoran junk food di salah satu shopping centre di Jakarta.
"Lo maunya apa?" tanyaku balik.
Gilang melirik ke arah papan yang terpajang di atas tempat gambar menu makanan dan paket hematnya.
"Gue terserah lo aja deh." katanya
Oke. Satu sifatnya terkuak. Ia tidak suka ribet, dan saat berkencan, ia lebih sering menyerahkan segalanya pada perempuan terlebih dahulu, sedangkan ia mengontrol dari belakang. Cukup gentle, menurutku.
"Oke deh. Gue pesen yang paket hemat 3." kataku
"Iya mengamati gambar paket makanan yang kukatakan. Ia tampak berpikir dan akhirnya mengangguk. "Mau tambah eskrimnya juga?" tanya Gilang
"Emang lo punya duit banyak?" ledekku. Tapi, ups. Sepertinya ia tampak tersinggung. Aku segera tersenyum lebar dan memukul bahunya lembut, "bercanda, Gilang."
Gilang mengulum senyum. "Iya gue tau, Nda. Tapi, buat ngeyakinin lo aja, gue nggak semiskin itu."
Aku tertawa. Begitu tiba giliran kami memesan, Gilang menyebutkan pesanannya dan kami segera menuju tempat duduk.
"So, hows your day?" tanya Gilang sembari membuka bungkus nasinya
"You've been with me all day, Gilang. Menurut lo, kabar gue hari ini gimana?" Sindirku
Gilang tertawa cukup keras sampai bahunya berguncang. Tawanya begitu menular. Akhirnya, aku hanya terkekeh pelan sembari memerhatikannya diam-diam. Tawanya renyah, dan lesung pipi yang baru-baru ini aku sadari tampak makin memukau wajah sederhananya.
"Okay, i'm sorry." tetapi ia tetap terkekeh
"Gilang, mau makan atau tetep ketawa, sih?"
"Makan," ia mulai menyuap nasinya sambil menatapku dengan kuluman senyum
"Stop looking me like that. Lo buat gue risih tau nggak? Berasa lagi makan sama orang gila yang kerjaannya nyengir-nyengir nggak jelas." kataku
Dan lagi-lagi, Gilang tertawa. Aku tidak marah seluruhnya, sebenarnya. Aku malah senang melihatnya tertawa. Jadi, ya, jangan kira kata-kata sarkatisku barusan benar-benar tulus dari hati.
"You're so funny, Nda."
"No, i'm not."
"Yes, you are."
Aku menatap Gilang tajam tetapi bibirku berkata lain. Aku tersenyum padanya. Gilang juga balas tersenyum dan menatapku. Kami berlomba bertatapan sampai akhirnya matanya berair dan ia mengangkat tangan menyerah
"Lo selalu menang dalam hal ini." katanya dan ia mulai merobek dada ayam gorengnya
"Tuh tau." sahutku singkat
Kami mulai makan. Ada jeda berisi keheningan sebentar. Tetapi tiba-tiba, jeda itu pecah oleh pertanyaan Gilang saat kami hampir selesai makan.
"Pulang dari sini, mau beli apa lagi?" tanyanya
Aku memiringkan kepala dan berpikir sejenak. Semua yang kubutuhkan sudah terbeli. Kurasa cukup. Oh, kalian belum tau. Aku dan Gilang sedang berburu barang untuk dijadikan kado pada perayaan natal di sekolahku 2 hari lagi. Yah, ceritanya, khusus angkatanku ingin merayakan natal di salah satu rumah teman, dan nanti bakal ada santa claus(jadi-jadian) yang membagikan kado. Bocah sekali sebenarnya untuk ukuran pelajar 2 SMA. Tapi, aku dan Gilang yang memang bertugas sebagai panitia seksi hiburan, ingin membawa ide baru. Rasanya bosan saja hanya merayakan natal dengan makan-makan sekaligus ibadah sebentar. Jadi, ya, kurasa ide ini paling bagus. Apalagi, kado-kado ini nantinya akan dibagikan pada penerimanya tanpa memberitahu siapa pengirimnya. Jadi, sedikit membuat penasaran gitu lah. Sekaligus, numpang modus bagi orang-orang yang sedang tahap PDKT
"Udah kayaknya. Kita hanya beli untuk kelas kita doang, kan? Seksi hiburan dari tiap kelas beli kado dari kelas masing-masing, ya kan?" tanyaku memastikan
"Yup." Gilang tersenyum. "rasanya lucu ya. Ada 10 panitia seksi hiburan, tapi cuma kita yang berhasil kasih ide yang bocah banget."
Aku tersenyum. "Kan 2 IPS-III kreatif," kataku dengan nada promosi
Gilang terkekeh. "Dasar,"
Kami selesai makan beberapa menit kemudian. Setelah bersiap-siap mengangkut sekitar 15 kantung belanjaan yang berat, kami keluar dari restoran dengan langkah ertatih.
"Berat ya?" tanya Gilang
"Menurut lo?" aku balas menyahut.
Aku tau Gilang lebih banyak mengangkut. Aku hanya mengangkut 6 kantung, sedangkan Gilang 9. Tapi, asal kalian tau, kantung ini beraaaattt sekali. Kami mengakut 30 hadiah yang beraneka ragam  untuk 30 anak di kelasku. Ternyata, ide kami cukup menyusahkan.
"Udah telepon Mas Edo?" tanya Gilang menyebutkan nama supirku
"Udah."
Kami sama-sama terdiam sampai tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk merogoh kantung celanaku dengan tangan yang penuh kantung belanjaan. Gilang dengan lembut memintaku untuk menaruh kantung-kantung itu terlebih dahulu. Aku hanya bisa nyengir malu dan menurunkan kantung belanjaan di atas lantai marmer berwarna merah marun itu.
"Ya, Ma?" sapaku saat menjawab telepon itu
"Lita, kamu masih di sana kan?" tanya Mama dengan nada suara terburu-buru
"Ya iyalah. Kenapa emang?"
"Itu... si Edo tiba-tiba ijin pulang cepet soalnya Feni mendadak sakit."
"Hahh? Mbak Feni sakit?? Kok bisa?" aku terkejut. Mbak Feni, istri Mas Edo, yang juga pelayan terfavoritku sepanjang masa, termasuk salah satu wanita kuat. Kuat luar-dalam, lho. Disaat hampir seluruh orang rumah sakit, ia tetap sehat bugar. Mungkin, saat orang rumah sehat, Mbak Feni jadi sakit. Entahlah.
"Nggak tau, tuh. Mama juga bingung. Tiba-tiba si Feni ijin pulang gara-gara ngaku muntah-muntah sejak tadi siang. Ya sudah, Edo ikut nganterin." jelas Mama
"Terus? Siapa yang jemput aku sama Gilang?? Ini belanjaannya berat banget lho, Maa," rengekku. Aku bukan bermaksud manja atau apa. Tapi, ini serius beraaaaaat!! Dari mal ini, harus nyebrang jalan 2x dulu baru bisa dapat angkot. Mengerikan, kan?
"Yah.... Mau gimana lagi? Papa kerja. Sam juga lagi main ke rumah temennya. Jangan mengharapkan Mama, Lit. Motor aja nggak bisa, apalagi mobil,"
"Uuuugghhh,"aku menggigit bibir dan melirik ke arah Gilang yang menatapku dengan pandangan heran. "Yaudah lah, mau diapain lagi." kataku akhirnya
Terdengar hembusan napas Mama. Aku tahu ia takut kalau aku akan mencak-mencak terhadapnya. Mama adalah kebalikanku. Ia lembut dan jarang sekali marah. Sedangkan aku tipe cewek gampang terpancing emosi. Sebenarnya, jika Mama ingin tahu, aku benar-benar ingin teriak saat ini juga. Sayangnya saat melihat Gilang masih menatapku tenang seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, seketika amarahku menguap.
"Baiklah. Hati-hati ya, Lita sayang. Barang-barangnya jangan sampai ada yang ketinggalan. Oke?"
"Yup," sahutku malas-malasan, "Lita tutup dulu ya, Ma. Bye." dan bergitu mendengar Mama mengucapkan salam terakhir, aku menekan tombol merah pada ponselku.
"So? Based on what i've heard, we cannot go home by your cars, can we?" kata Gilang
"Yap. Sucks, right?" sahutku kesal dan mulai menenteng ;agi kantung belanjaan
"Nope." ia mulai berjalan mendahuluiku
"Nope?! Jelas-jelas ini semua nyebelin, Lang. Kita pulang naik angkot dan perjalanannya seperti Dora the Explorer sambil nenteng belanjaan buanyaaak banget. Nyebelin, kan??" aku berkata dengan berapi-api sambil berusaha menyusul Gilang yang langkahnya sepanjang tiang listrik. Panjang banget.
Bruk! Tiba-tiba ia berhenti saat aku tepat di belakangnya dan perhatianku sedang terarah pada kantung belanjaan. Tanpa bisa dielak, tubuhku menabrak tubuhnya yang tinggi menjulang itu.
"Gilang! Apa-apaan sih?" aku menatapnya kesal.
Gilang membalikkan badannya dan menatapku dalam diam. Sinar mataku yang awalnya kesal lama-lama mulai meredup diganti dengan rasa panas menjalar di pipiku.
"Wanda," ia terdiam sebentar dan kemudian melanjutkan, "With you, i want go through everything. Difficult or happy, as long as i'm with you, I would."
Deg. Deg-deg. Deg-deg-deg-deg-DUEEER!!!
What the hell is he talking about??! Apa itu berarti.... dia......
"Jadi, ayo. Kita jangan terlalu lama disini. Nanti keburu sore." Gilang kembali berjalan mendahuluiku. Aku yang masih setengah-sadar-setengah-nggak tetap bergeming di tempat.
"Lita!"
Aku menoleh dan melihat Gilang menatapku bingung. "Ayo, cepetan." katanya
Aku segera menyusulnya. "Wait wait.... You call me, 'Lita'?" tanyaku
"Yup. Kenapa? Nggak suka?" sahutnya dengan wajah menjengkelkan
"Nggak apa-apa sih. Tapi, panggilan itu biasanya cuma dipanggil keluarga deket gue." kataku lagi
"Nda, kamu masih nggak ngerti?" Gilang berhenti dan menatapku dalam lagi. "Soon, i'll be your nearest family. Why like that? Because, i live in there," ia menunjuk dadakuku dan melanjutkan, "in your heart. Understand? Sekarang, mending kita cepet-cepet pulang sebelum angkotnya pada kabur semua."
Ooh, shit. God damn it. I love him. I love him so much!!


TBC   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?