Lagi-lagi Tentang Mimpi. (Edisi Post ke-100)

21.20

Hallo, pembaca. Kembali lagi denganku.

Jujur, malam ini aku bingung inign menulis apa. Rasanya terlalu banyak pikiran yang saling tumpah tindih memaksa ingin dikeluarkan. Tapi aku akan mencoba untuk menumpahkannya lewat tulisanku ini. Selamat menikmati.

Mimpi.

Apakah kau pernah bermimpi?
Bukan, bukan bunga tidur yang terselip di balik bantalmu setiap malam. Bukan juga bayangan sementara saat kau tertidur  dalam perjalanan menuju kota. Ini tentang cita-cita. Ingin jadi apa kau nanti di masa depan. Apakah kau punya?

Aku punya. Mimpi yang kukira takkan bisa kuraih melihat kerasnya realita.

Aku pernah punya tiga mimpi sepanjang tujuh belas tahun hidup di bumi.
Mimpi yang pertama, menjadi seorang artis yang muncul di layar kaca rumahmu. Bukan menjadi dokter, presiden, astronot, atau menteri. Tapi artis. Bukan artis yang penuh skandal dan hidupnya disorot kamera setiap detik, melainkan artis yang berakting sepanjang hidupnya. Aku masih ingat saat pertama kali kuutarakan cita-cita masa kecil itu kepada saudara perempuanku. "Yakin? Ntar hidupnya nggak tenang lho.", katanya. Aku juga bahkan masih ingat saat pertama kali selama tujuh belas tahun hidup ikut kelas akting saat masih menginjak bangku Sekolah Dasar. Aku bahkan sudah lupa tempatnya dimana dan seperti apa wajah gurunya. Yang jelas saat itu aku hanya ikut satu kelas karena kebetulan Mama kenal dengan si empunya sekolah akting. Aku hanya ingat satu momen, saat aku diminta berakting seakan-akan rumahku kebakaran dan bagaimana senyum sang guru saat melihat aktingku. Masih terasa hangat sampai saat ini perasaanku mengingat betapa mengasyikannya dunia seni peran. Tapi harus kukubur mimpi itu karena realita mengatakan sebaliknya. Menjadi artis itu ternyata sulit. Tekanan demi tekanan berdatangan memaksa kita untuk sempurna (setidaknya) di hadapan kamera. Dan itu sama sekali tidak mengasyikan.
Mimpi yang kedua, menjadi guru bahasa Inggris. Sederhana, karena nilai bahasa Inggrisku tidak pernah menyentuh angka delapan sepanjang enam tahun di Sekolah Dasar. Tapi mimpi ini hanya sementara, setelah aku mengetahui betapa tidak sabarnya aku saat mencoba mengajari temanku. Guru harus sabar, dan aku bukan bagian dari mereka. Mimpi itu lagi-lagi harus kukubur dalam.
Mimpi yang ketiga, menjadi seorang penulis. Ini adalah mimpi yang hingga saat ini masih melekat di hatiku. Semua ini berkat serial Malory Towers, St.Clare dan 8 cerita anak-anak nakal (aku tidak tahu nama serialnya apa, maaf) karya Enyd Blyton, serial Kecil-Kecil Punya Karya dan Pink Berry, novel Emmy and The Incridible Schrinking Rat, Alice-Miranda at School (NOVEL INI HILANG HUHU AKU TIDAK TAHU DISIMPAN ATAU DIPINJAM SIAPA. Padahal dari novel ini aku banyak dapat pengetahuan terutama tentang Raja Henry yang suka memenggal istrinya HAHA karena Alice diceritakan merupakan seorang perempuan kecil yang sangat pintar dan tahu segalanya.) Dan novel 'berat' yang pertama kubaca saat masih kelas satu Sekolah Menengah Pertama berjudul Century (bahkan sampai hari ini aku masih ingat plot twist yang begitu hebat dari novel ini. Sayangnya, lagi-lagi novel ini hilang. Hah.) Aku ingat pasca selesai membaca serial Malory Towers untuk sekian kalinya, aku kemudian membuat cerpen yang sudah melebihi sepuluh halaman tentang sebuah asrama putri dengan kisah mistis di dalamnya. Selain itu aku juga pernah membuat cerita tentang sebuah kerajaan dengan satu putri baik hati dan satu putri jahat yang selalu ingin merebut kebahagiaan putri yang baik hati. Entah dimana sekarang semua cerita itu. Namun yang jelas, semuanya masih terpatri dalam otak cerita-cerita hasil khayalan perempuan kecil yang tidak punya teman bermain. Tapi lagi-lagi, mimpi ini harus dikubur. Menjadi penulis tidak bisa disebut pekerjaan tetap (kecuali jika aku memang sangat sangat produktif, seperti Christian Simamora yang menghabiskan hidupnya saat ini menjadi penulis penuh waktu.) Aku bukan seperti itu. Menulis tidak bisa memberiku makan. Lagipula aku tipe orang yang mudah bosan dan tidak mudah menemukan ide cerita dalam sekali perjalanan menuju toko depan rumah. Bukan juga orang yang iba melihat perempuan tua sedang kesusahan membawa bawaan beratnya dan lantas menjadikannya tokoh utama dalam sebuah cerita pendek. Aku butuh pekerjaan tetap dengan penghasilan tetap. Itu lah pekerjaan yang sesuai realita.

Pahit sekali bukan realita ini? Bagaimana kita dipaksa untuk menyerah pada mimpi di waktu yang masih belia.
Dan untuk dua kali  lagi, aku ditampar oleh realita.

Aku pernah punya cita-cita kecil yang kulontarkan saat masih di bangku Sekolah Dasar kepada ayahku. "Nanti urutan ruth kaya gini, Yah. 05-41-28-UI." Dan ayahku hanya bisa tersenyum sambil mengucapkan "Amin" dengan lirih. Siapa sangka, setelah lulus dari putih-merah itu, semuanya menjadi melenceng. 41 jadi 98, 28 jadi 38. Aku memang hampir menyerah dengan mimpi itu setelah tahu aku tidak bisa melanjutkan pendidikan di SMPN 41 Jakarta. Masuk 98 saja sudah syukur. Tapi Puji Tuhan, aku masih bisa ditempatkan di SMAN 38. Dan di sini lah, kembali aku bermimpi untuk bisa melanjutkan cita-cita kecil itu. Kalaupun aku memang tidak bisa mencicipi pendidikan di 41 maupun 28, setidaknya aku diperbolehkan mengenyam pendidikan di Universitas Impian itu. Universitas tempat kakak tertua yang selalu kukagumi itu menganyam ilmu.
Namun, lagi dan lagi. Aku baru sadar medan perang itu begitu berat. Tidak hanya aku yang ingin mencicipi almamater kuning terang itu. Ada ribuan orang seantero Indonesia juga ingin mencicipinya. Aku harus berebut dengan tidak hanya satu angkatan, tapi satu Indonesia. Realita juga tidak bersedia menempatkanku di kelas 'unggulan' dimana nilai disana terjamin sehingga aku bisa dengan mudah melangkah tanpa ujian menuju Universitas Impian itu. Sungguh miris. Melihat teman-temanmu yang melangkah dengan mudah hanya karena diskriminasi nilai vital di laporan akhir semester itu. Padahal, jika mau itung-itungan usaha, keringat dan emosiku jauh lebih banyak terkuras dibanding mereka. Hah, menyedihkan.
Seperti yang bisa ditebak, aku gagal lolos jalur 'undangan' karena nilaiku tidak cukup memuaskan dahaga para petinggi Universitas. Sedih, jujur saja. Tangisan malam itu cukup menyedihkan, sebenarnya.
Dan tak lama setelah itu, lagi-lagi aku ditolak oleh Universitas Impian lewat jalur 'undangan' jilid dua. Wah, kalian mungkin akan jijik jika melihatku menangis meraung-raung tengah malam itu saat semua orang terlelap. Entah apa lagi yang kuucapkan dalam komunikasi dengan Tuhan. Awalnya mengucap syukur, lalu kecewa, hampir mengutuk, kemudian minta maaf dan akhirnya berserah. Pertama kali aku mengucapkan kalimat itu dengan hati yang luar bisa hancur. Aku selalu menyisipkan kalimat "Kuserahkan seluruh hidupku pada-Mu" dalam setiap doa, tapi malam itu, kalimat tersebut berubah menjadi, "terserah Tuhan aja. Aku mau ditempatin dimana terserah Tuhan. Yang penting aku udah berusaha. Usaha tidak akan mengkhianati hasil dan aku tahu seorang Bapa tidak pernah mengecewakan anak-Nya. Cukup berikan aku kekuatan dan kebijaksanaan menerima setiap keputusanMu nanti."

Realita memang sejahat itu.
Kalau saja saat itu aku tidak keras kepala dengan mimpi sejuta umat itu, menjadi mahasiswi jurusan yang paling diminati di universitas impian semua orang dan menyerah dengan jurusan yang sama tapi bukan di universitas itu, mungkin Ayah dan Mama tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya pendaftaran yang sampai hari ini terhitung sudah satu juta lebih.
Kalau saja saat itu aku tidak keras kepala dengan mimpi sejuta umat itu, yang penting menjadi mahasiswi dengan jaket kuning terang walaupun bukan dengan  jurusan yang aku minati, mungkin saat ini aku tidak perlu berjibaku dengan buku kumpulan soal yang tebal setiap hari hingga larut malam.
Tapi aku tidak melakukan itu.
Karena apa?
Lagi-lagi karena mimpi.

Ini semua karena mimpi. Mimpiku yang pertama dan yang terakhir itu.
Menjadi seorang seniman dunia peran. Aku ingin berakting atas hasil tulisan orang lain dan aku ingin orang lain akan berakting atas hasil tulisanku. Itu mimpi terbesarku saat ini. Dan kurasa, mimpi itu dapat kuraih jika aku masuk universitas yang paling menjanjikan seantero Indonesia itu. Aku ingin menghiasi layar kaca kalian dengan film berkualitas yang kutulis naskahnya atau film berkualitas dengan aku sebagai pemeran utamanya.


Ini lah cerita tentang mimpiku. Bunga tidur dalam realita yang kejam. Kali ini aku tidak akan menutup mata dan menguburnya lagi. Tidak akan. Apapun akan kutempuh demi mimpi masa kecil ini. Aku janji aku tidak akan mengecewakan pilihan yang kupilih dan kesempatan yang akan Tuhan berikan juga doa yang dipanjatkan sekitarku. Ini lah mimpiku. Seperti kalimat seorang seniman tarik suara Agnez Mo, "Dream, Believe, And make it happen." Aku akan mengikutinya. Bermimpi yang kata orang mustahil, yakin bahwa mimpiku suatu hari akan terwujud dan akan berjuang keras mencapainya. Karena lagi-lagi ini tentang mimpi. Tidak ada yang mampu melawan mimpi seseorang. Seperti seekor harimau yang akan marah jika tidurnya diganggu karena ia tidak ingin mimpinya dirusak siapa pun. Ini tentang mimpi, tentang cita-cita masa kecil, dan tentang impian seorang remaja perempuan sederhana.
Sekian.


- Salah satu pejuang mimpi, calon mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia 2017. -

Komentar

  1. God will give you the best thing ever! Never give up even its really hard to do, The. Just let it flow. Terharu bacanya:" SEMANGAT!!♥♥♥

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?