Seminggu denganmu (Hari 7)

Hari ini aku terbangun dengan mata yang membengkak.
Semalaman aku tidak bisa tidur. Menangis seperti hantu kesepian. Aku tidak mendapat mimpi apa-apa. Padahal, aku berharap mendapat mimpi bagus tentang Gerard supaya aku mempunyai harapan lebih besar. Tapi ternyata tidak. Entah karena kelelahan, atau Tuhan tidak mau aku tahu rencananya, aku tidak mendapat mimpi apa-apa. Menyebalkan.
Bagitu aku membuka mata, aku melihat Gerard. Dengan berbalut serba putih, ia tersenyum padaku dengan sedih. Tetapi, ketika aku mengerjap, ia sudah tidak ada. Menghilang. Dan aku? Kembali menangisinya.
Aku tahu ini bodoh. Aku yakin Gerard belum pergi meninggalkanku, tapi rasanya sakit sekali. Aku terduduk di ranjang dan menekan dadaku kuat-kuat. Berharap rasa sakit ini akan segera hilang. Berulang kali aku menghapus tetes demi tetes airmata yang bergulir di pipiku. Aku menekan dan terus menekan, tapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Setiap aku menutup mata untuk menenangkan diri, rasa sakit itu kembali menyerang dan bayangan mimpi itu kembali datang. Rasanya seperti orang gila.
Saat aku berdoa, tiba-tiba terdengar dering ponsel. Aku langsung membuka mata dan dengan terburu-buru meraba seluruh permukaan ranjangku dan menemukannya. Begitu melihat laarnya, aku kembali menangis. Kali ini tangis bahagia. Aku menghapus airmataku dan mengangkatnya.
"Gerard?" Kataku tersendat-sendat karena airmataku belum sepenuhnya tidak turun.
"Sena, bisakah kau kesini sekarang?" Tanya sebuah suara lemah dari seberang sana
"Kau kenapa?" Tanyaku. Kurasakan dadaku kembali berdebar cepat. Kali ini, airmata tidak turun, api jantungku rasanya ingin melonjak keluar begitu mendengar suara lemahnya.
"Cepatlah datang ke rumahku." katanya dengan suara lebih lemah dan pelan "Jl,Mahoni no.32. Perumahan Sarita. Kau tahu, 'kan?" Ia masih sempat bertanya padaku
Aku mengangguk. Walaupun sebenarnya aku tahu Gerard tidak mungkin melihatku mengangguk tapi aku yakin dia merasakannya.
"Jangan menangis, Sena. Cepatlah ke sini. Aku...," ia berhenti sebentar dan terdengar ia sedang menarik nafas dalam-dalam "Menunggumu." Lanjutnya. Dan telepon diputus.
Aku menurunkan ponsel dari telinga dengan tangan gemetar. Gerad masih sempat menenangkanku padahal dirinya sendiri tidak dalam kebahagiaan. Aku harusnya ada di sana dan menenangkannya. Ya.
Dengan terburu-buru dan rasa panik yang menjalar, aku segera merapikan diri dan melesat menuju rumah Gerard.


Apakah ini mimpi?
Tidak. Ini nyata. Sangat nyata. Sehingga membuat dadaku sesak karenanya. Terlalu nyata untuk dilihat dan dirasakan.
Begitu aku sampai di rumahnya, ternyata ada sebuah mobil selain mobil Gerard. Dengan terburu-buru aku masuk ke rumah Gerard. Begitu aku masuk, aku seperti kembali ke suatu kejadian. Ya, aku ingat. Aku ingat rupa rumah Gerard dalam mimpiku. Persisi seperti ini. Furnitur dari kayu dan terkesan asri. Aku melangkah dan mendekati suatu ruangan. Entah kenapa aku begitu yakin itu kamar Gerard. Padahal, ada banyak pintu ruangan di rumah ini.
Aku membukanya dengan pelan. Begitu aku masuk, aku mendapati Gerard seperti dalam mimpiku. Terkulai lamas, tidak berdaya. Bedanya hanya satu, saat ini, disebelah ranjang Gerard, duduk seorang lelaki berkacamata yang sedang menatap Gerard sedih.
Aku mendekati mereka. Ku sentuh pundak lelaki itu dan lelaki itu menoleh
"Sena?" Tanyanya tidak begitu yakin
"Ya." Jawabku
Ia menghela nafas dan mengulurkan tangannya
"Saya Dokter Cliff. Dokter keluarga Gerard." Katanya
Aku menyambut tangannya dengan lemah. Mataku teap tertuju paa Gerard yang saat ini sedang menatap kami berdua dengan pandangan sendu
"Apa yang terjadi padanya?" Tanyaku dengan suara serak
"Biarkan dia dulu yang menjawab. Jika kau masih tidak mengerti, kau boleh bertanya padaku." Katanya. Ia lalu pergi meninggalkan Aku dan Gerard.
Aku duduk di kursi yang tadi ditempati Dokter Cliff. Aku mengulurkan angan dan membelai kepala Gerard.
"Kau kenapa?" Tanyaku dengan suara serak. Airmataku kembali menetes.
Ia tersenyum lemah "Buka laci meja disampingmu itu. Laci teratas." Katanya
Aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Tetapi, aku menuruti perkataannya. Aku membuka laci meja kayu itu. Saat aku membukanya, ada sebuah binder berwarna putih. Hanya benda itu. Tidak ada benda lain dalam laci itu. Aku mengambilnya dan kembali menatap Gerard
"Simpan itu. Jaga baik-baik." Katanya terpatah-patah
"Apa ini?" Tanyaku
"Kau akan tahu nanti." Ia mengambil telapak tanganku dengan susah payah dan menggengamnya. Bukan genggaman kuat dan lembut seperti biasa. Hanya genggaman lemah dan dingin.
"Kemari, Sena." Katanya pelan
Aku mendekatkan wajah yang berurai airmata ini mendekati wajah pucatnya. Tiba-tiba, tangannya yang dingin menyentuh pipiku dan menghapus airmataku dengan tertatih-tatih.
"Sudah kubilng, jangan menangis." Katanya sambil terus menghapus airmataku.
Aku tidak bisa menahan lagi airmata yang kian membanjir ini. Semakin ia mengatakan jangan menangis, semakin aku ingin menangis melihatnya.
"Berjanjilah padaku jangan menangis lagi." Katanya dengan tangan tangan yang memgang wajahku
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Aku tidak bisa berjanji untuk tidak menangis karenanya.
"Berjanjilah..." Katanya lagi dengan lemah
Aku tetap menggeleng dengan airmata yang kian deras
"Berjanjilah, Sena. Jika kau tidak berjanji, aku akan pergi dengan kesedihan." Katanya
"Bagaimana bisa aku berjanji untuk tidak menangis? Kau tidak pernah memberitahuku soal ini. Aku juga tidak akan berjanji untuk tidak menangis!" Kataku sedikit berseru
Ia memejamkan matanya dan bisa kulihat airmata juga menetes di pipinya
"Untuk kali ini, berjanjilah padaku." Katanya lagi Ia membuka matanya dan membiarkan aku melihat ia menangis
Aku tidak tahan lagi. Aku mengangguk dan tak bisaku tahan lagi airmata ini.
Ia memelukku seerat yang ia bisa. Ia mengangkat wajahku dan menciumku pelan. Bibirnya terasa dingin di bibirku. Aku menangis saat ia menciumku. Ia melepas ciumannya dan kembali menghapus airmataku.
"Aku mencintaimu. Dan akan selalu menyayangimu." Katanya lemah
"Aku juga." Bisikku di tengah isak tangisku.
Ia tersenyum dan memelukku lagi. Tetapi, perlahan namun pasti, kurasakan tangannya semakin melemah. Aku melepas pelukannya dan menatap Gerard. Wajah Gerard lebih pucat dan suhu tubuhnya kian dingin. Aku menyentuh dadanya dan aku tidak merasakan debaran jantungnya lagi.
Aku menjerit dan kembali menangis. Aku mengguncang-guncang tubuhnya dengan kuat dan berulang kali memanggil namanya.
Tepat saat itu, Dokter Cliff datang dan menghentikanku. Ia menarik tanganku menjauh dari Gerard. Aku menangis dan terus menangis.
Jangan tinggalkan aku, Gerard.... Aku menyayangimu.....


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?