Beda

"Pasangan hidupmu, adalah cinta pertama dan terakhirmu."
Aku menghela nafas panjang melihat satu post-it yang ditempelkan beberapa hari yang lalu oleh sahabatku di atas komputerku. Pasangan hidup apanya? Aku sudah muak dengan ini semua. Rasanya otakku diputar ulang terus menerus seperti kaset rusak. Memoriku dipaksa memutar ulang kejadian satu bulan yang lalu, dimana semuanya berawal.

Aku memandang dia yang sedang menerawang menatap rumputan hijau yang terpapar dihadapan kami. Ia meletakan kedua tangannya di belakang punggung dan menopang tubuhnya sendiri. Aku sendiri duduk bersila disampingnya. Menatapnya dengan pandangan yang kuharap dalam dan mampu mengusiknya. Tapi ternyata tidak. Tatapanku sama sekali tidak digubris. Ia tetap sibuk menatap rerumputan yang menari-nari seolah berebut perhatian darinya. Bosan.
Aku kemudian memalingkan wajah darinya. Menekuk kakiku dan memeluknya. Memejamkan mata dan berusaha menenangkan perasaan yang kalut akhir-akhir ini.
"Kau mencintaiku?" sebuah suara terdengar bergema di telingaku. Aku membuka mata dan menengok ke arahnya. Ia masih menatap rerumputan itu tapi bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia berbicara denganku.
"Ya, tentu saja." aku menjawab bingung. Kenapa ia bertanya seperti itu? Bukankah selama 3 tahun terakhir ini kami selalu mengucapkan kata "aku mencintaimu" setiap bertemu dan berpisah? Lalu kenapa ia harus bertanya lagi?
"Kau yakin?" tanyanya lagi
"Tentu saja. Kamu kenapa, sih?" aku mulai tidak nyaman dengan pertanyaannya. Aku menunggu jawaban darinya, tapi ia malah membungkam mulutnya. Aku kembali memejamkan mata.
"Kita sudah dewasa, kan?" ia bersuara lagi. Kali ini ia menatapku dan mengubah posisi duduknya menjadi menghadapku dan kaki bersila. Aku juga mengubah posisiku dan duduk berhadapan dengannya
"Jika maksudmu usia, tentu saja kita sudah dewasa. Aku 23 tahun dan kamu 27 tahun." jawabku semakin heran
"Jadi.... kita sudah cukup umur, bukan?" ia memastikan sambil terus menatapku
"Ya..," aku menjawab pelan
"Bagaimana kalau kita.....," ia terdiam sejenak untuk menarik nafas panjang dan kemudian melanjutkan perkataannya. "menikah?" 
Aku tertegun. A-apa katanya? Menikah? Ia pasti bercanda.... Pasti....
"Ya, menikah. Membangun keluarga, mempunyai anak, dan hidup bahagia bersama selamanya." ia berkata dengan suara bergetar dan terdengar tidak yakin
"Jangan bercanda, sayang. Kau tahu kita tidak..,"
"Aku tidak bercanda!" ia tiba-tiba berseru dan menatapku nanar. Aku terlonjak kaget dan menjauh mundur darinya. Takut. Aku belum pernah dibentak olehnya. Dia tahu persis aku tidak suka dibentak.
"Aku sudah lelah jalan ditempat dalam hubungan kita ini. Hanya waktu yang memperjelas hubungan kita sudah lama. Kita sendiri? Tidak! Rasanya hanya berjalan ditempat bersamamu. Tidak mundur, tidak juga maju. Aku sudah bosan!" lagi-lagi ia berseru keras terhadapku.
Aku semakin mundur darinya. Menjauh dengan pandangan yang mulai kabur tertutup airmata. Aku tidak suka dibentak. Sangat tidak suka. Aku bisa menangis meraung-raung jika dibentak seseorang. Apalagi dengan kekasihku saat ini.
"Ja-jangan membentakku..." aku akhirnya membuka suara dengan bergetar hebat. Aku berusaha menatapnya tapi terhalang oleh airmata yang mulai menumpuk di mataku
"Aku sudah tidak kuat lagi! Kamu kira aku bisa bertahan seperti ini terus? Aku sudah dewasa. Aku ingin hubungan serius. Kau bilang kau mencintaiku, kan?" ia memegang bahuku dan menggoncangnya keras. "kau mencintaiku, kan? Iya, kan?!"
"Ja-jangan membentakku......" lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku benar-benar takut. Bagaimana aku menjawab dalam keadaan takut seperti ini?
Cengkeraman tangannya di pundakku melonggar drastis. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipiku yang sudah basah airmata. Menghapusnya pelan dengan ibu jarinya dan menangkup wajahku dengan tangan besar yang biasanya hangat dan kini dingin.
"Aku minta maaf... Aku mencintaimu. Sungguh. Sangat mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu," aku membuka mulut dan akhirnya membalas kata-katanya. "tapi tidak untuk menikah."
Tatapan matanya yang sempat melembut kembali berubah tajam dan nanar. "Kenapa?! Karena agama itu? Kenapa kau selalu begitu? Zaman sekarang menikah bukan hanya berarti agama!"
"Ttu menurutmu! Itu tidak berlaku untukku!" aku langsung menutup mulut begitu mendengar suaraku sendiri sedang membentaknya. Aku kaget. Darimana aku bisa membentaknya? Kurasa aku marah. Ya, sangat marah. Ia tega menyindirku manusia ketinggalan zaman.
"Tapi kau bilang kau mencintaiku!" sahutnya
"Menikah bukan sekadar cinta!Menikah berarti mengakui dihadapan Tuhan. Dan aku tidak mau main-main tentang itu." kataku dingin
Ia menghilangkan tatapan nanar dan menggantinya dengan tatapan sinis. "Aku sudah mengiranya. Tuhan kita saja sudah berbeda, bukan?" ia melepaskan tangannya dari wajahku dan tersenyum sinis. "Selama apapun kita berhubungan, tetap saja percuma, bukan? Tetap saja pada akhirnya kita akan berpisah. Aku sudah menebaknya dari awal kita pacaran. Semuanya percuma." ia menekankan kalimat terakhir. Dan itu membuat hatiku seperti disayat. Apa apaan ini?
"Tidak ada kata 'percuma' dalam hubungan. Apakah segala tawa dan kesenangan kita dulu hanya percuma?"
"Ya. Itu semua percuma. Tetap saja kita tidak bisa menikah, kan? Buat apa dulu aku mau pacaran denganmu jika akhirnya begini?"
Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk menamparnya. Ia terlihat kaget. Sangat kaget. Tapi, aku benar-benar tidak bisa menghentikan desakan kuat untuk menamparnya.
"Bukan hanya kau yang dewasa. Aku juga dewasa. Kau kira hubungan ini percuma? Ya, terserah kau saja! Aku juga sudah muak denganmu. Selamat tinggal." aku beranjak dari dudukku, mengambil tas tanganku dengan cepat dan pergi melesat dari hadapannya.

Kejadian itu berulang kali muncul di pikiranku.Rasa sakit yang sama terus muncul setiap aku menghingat kejadian itu. Rasa kehilangan dan tidak menyangka.
Aku hampir gila saat sahabatku datang menolongku. Ia kembali menyadarkan pikiranku dan mengatakan sesuatu yang pernah kuucapkan saat kami masih di SMP. Sebuah nazar yang sempat kulupakan selama bersamanya. "Pasangan hidupmu, adalah cinta pertama dan terakhirmu." Aku meyakini itu. Dari kecil aku diajarkan untuk tidak sedikitpun mencoba hal-hal diluar menikah. Aku kira itu tidak akan terjadi. Tapi, cinta memang bisa membutakan. Bahkan membuat kita amnesia sesaat. Aku tidak mau mengorbankan cinta ydengan agama. Cinta yang memang seharusnya tidak kutindaklanjuti dari dulu. Tuhan menyiapkan segalanya untukku. Begitu rapi sampai tidak mau aku merusaknya sedikitpun. Dan dalam rencananya, tidak ada nama dia. Aku yakin Tuhan menyiapkan yang terbaik untukku. Dan kurasa ini memang yang terbaik. 
Melupakan dan menata kehidupan kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?