Senyumku, tangisku.

"Hey! Jangan lari, kamu!"
Aku berteriak sambil sesekali tertawa pada sahabat-sahabtku yang berlari meninggalkanku. Kami berlari dan sama-sama tertawa dalam kebahagiaan, Kebahagiaan? Tawa? Kurasa hanya mereka yang merasakannya. Bagaimana dengan aku sendiri? Entahlah. Rasanya setengah jiwaku melayang-layang di atas sana. Terbang dituiup angin, dan akhirnya hinggap di matanya. Mata hitam kecokelatan yang terkadang menatap tajam, juga teduh. Terkadang, aku mencari letak setengah jiwaku itu. Dan, begitu aku mendapatkannya masih bersamanya, aku tersenyum sekaligus menangis. Tersenyum karena ternyata, ia belum melepas jiwaku dari matanya, dan menangis karena pada kenyataannya, ia bahkan tidak sadar ada jiwaku di matanya. Aneh bukan? Ya. Menurutku ini sangat aneh sekaligus menyedihkan. Bayangkan saja, aku tertawa ceria di hadapan orang banyak, seakan-akan aku tidak punya masalah sama sekali. Tetapi, begitu melihatnya, pandanganku terasa kabur diiringi dengan senyum menyedihkan.
Apakah dia tahu aku begini? Entahlah. Mungkin dia tahu, tetapi sekarang tidak mau tahu lagi. Menyedihkan. Aku berusaha menatap daklam ke arah metanya supaya ia bisa melihatku. Dan ia memang melihatku. Tetapi dengan pandangan dingin yang sangat tidak kuharapkan keluar dari matanya. Dengan senyum terpaksa ia tersenyum padaku. Itupun hanya satu dua detik, setelah itu ia pergi berlalu dari mataku. Bayangkan jika kamu seperti itu. Apa yang kamu rasakan? Sakit, bukan? Sama sepertiku. Sayangnya aku sudah terbiasa dengan pandangan dinginnya akhir-akhir ini. Sekarang aku menemukan masalah baru. Apakah aku sebegitui.....hinanya? Maksudku, apakah aku seperti sampah yang harus dijauhi? Bukan. Bukan dijauhi teman-temanku dan oranglain. Mereka tetap di dekatku,kok. Maksudku, dia. Sepertinya dia tidak tahan berada didekatku akhir-akhir ini. Dekat sebentar, kemudian pergi. Tanpa tedeng aling-aling, ia berlalu begitu saja. Aku mengernyit saat melihat sikapnya pertama kali. Tapi, ya, kupikir ia memang sedang ingin pergi ke tempat lain. Jadi, kubiarkan saja.
Lama-lama, aku sudah tidak tahan lagi. Rasanya aku ingin berteriak keras padanya, "Hei,kamu! Aku bukan sampah, tau! Tidak dapatkah kau bertahan sedikit saja disisiku seperti dulu?"
Hhhh, lelah memang. Sangat lelah. Mungkin mata dan hatiku sudahterlalu buta untuk menyerah terhadapnya. Mungkin hatiku masih bersikeras membangun harapn demi harapan agar kami bisa seperti dulu. Mungkin egoko masih terus memantapkan logika bahwa aku dan dia tidak akan terpisah. Well, dalam waktu dekat ini.
Tapi, ya sudahlah. Mungkin sikap kekanak-kanakanku, sikap mengesalkanku yang membuatnya jijik mendekatiku. Aku tidak memaksa dia untuk kembali seperti dulu secara instan. Well, segala hal butuh proses, bukan? Jadi, ya, i still waiting for you, boy. Remember that.
Aku kembali berteriak pada sahabat-sahabatku. Kami tertawa dan saling melempar ejekan. Sekali lagi, untuk hari ini, aku kembali melambungkan pandangan ke setengah jiwaku. Ooh, kali ini dia membalas tatapanku. Aku terus menatapnya dalam tapi ia langsung tersenyum terpaksa dan mengalihkan pandangannya. Aku menghela nafas dan berusaha menenangkan hatiku yang kembali terluka.
Well, senyumku juga tangisku. Kamu tidak pernah tahu itu, sayang. Kamu bahkan tidak berusaha mencari tahu. Kamu bilang kita baik-baik saja, padahal aku disini sangat tidak baik-baik saja. Mungkin kamu hanya melihat luarku saja, dan tidak berusaha untuk mengetahui didalam hatiku. Terserah padamu, sayang. Aku tidak lagi menuntut banyak hal padamu. Biar Tuhan saja yang melakukannya, bukan? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal nama UTHE

For you, Je

Is It End?